REALITAS MASALAH KEMISKINAN DI KOTA BANDUNG


REALITAS MASALAH KEMISKINAN DI KOTA BANDUNG



Orang miskin merupakan orang yang tidak bisa memenuhi sendiri kebutuhan hidup layaknya yang minimal sehingga mengalami realitas kemiskinan. Eriyatno mengatakan kemiskinan adalah sebagai akibat “social exclusive”, sehingga untuk menghadapinya diperlukan kapabilitas si miskin untuk meraih kehidupan yang layak. [1] Kemiskinan ada di dalam lingkungan hidup sekitar kita, misalnya di Kota Bandung. Kota Bandung memiliki jumlah penduduk sekitar 2.412.458 jiwa.[2] Dalam jumlah penduduk tersebut terdapat orang miskin. Tabel di bawah ini memberikan gambaran situasi kemiskinan di kota Bandung berdasarkan “Badan Pusat Statistik Kota Bandung” terdiri dari jumlah dan persentase penduduk miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) dan Garis Kemiskinan di Kota Bandung 2014-2017. [3]
Tahun
Jumlah Penduduk Miskin (dalam 000)
Persentase Penduduk Miskin (%)
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)
2014
115,00
4,65
0,69
0,17
353.423
2015
114,12
4,61
0,72
0,19
376.311
2016
107,58
4,32
0,55
0,12
400.541
2017
103,98
4,17
0,68
0,18
420.579
           
Untuk mencari alasan kenapa banyak orang miskin di Bandung, pada Selasa 3 Juli 2018 di lakukan tinjauan lapangan kepada salah seorang miskin di kota Bandung. Dalam kesempatan malam hari itu, saya berdialog kepada salah seorang pemungut botol minuman di Pasar Baru Trade Center tepatnya di jl. Jenderal Ahmad Yani. Namanya Pak Acha dari Cicadas, Bekasi, umur 52 tahun, agama Kristen Katolik dan tidak memiliki keluarga di Bandung karena istrinya sudah meninggal dunia. Dia mempunyai anak tetapi tidak tinggal di Bandung, sehingga ia pun sendiri mencari nafkahnya dalam usianya yang tua.
Setiap hari Pak Acha berjalan, mencari dan mengumpulkan botol-botol minuman sambil membawa karung besar. Dia melakukan pekerjaan tersebut karena tidak mempunyai ladang pekerjaan lain selain memugut botol minuman dari pagi pukul 06:00 s/d 21:00. Terkadang Pak Acha mendapatkan Rp. 25.000,/hari, tetapi tidak menentu, kurang lebih 400.000/bulan. Uang tersebut terpakai dalam membeli makanan setiap hari. Dia melakukan pekerjaan memungut botol-botol minuman selama 15 tahun. Latar belakang dia memulai pekerjaan tersebut semenjak masa kerja kontraknya sudah habis 15 tahun lalu di Padalarang pada masa pemerintahan Presiden Megawati.
Pak Acha sudah lama tinggal di Bandung dan setiap malam hari tidur di pinggir rumah teras milik orang Tionghoa (tempat kami bercakap-cakap) dan pada siang hari berhenti di lapangan luas untuk beristirahat. Selain Pak Acha, dia memiliki 3 teman lainnya yang senasib dengannya yang tinggal di teras rumah tersebut.  Malam harinya sangat disayangkan, mereka tidur di teras rumah tanpa batas sehingga angin dan hujan menjadi saksi dalam tidur mereka. Dia mengatakan bahwa masih banyak yang seperti Pak Acha di kota Bandung ini.
            Pak Acha dapat digolongkan orang miskin di Bandung karena pendapatannya kurang lebih Rp. 400.000/bulan.  Selain itu Pak Acha tidak memiliki tanah atau pun rumah yang layak untuk dihuni. Dan pakaian tak layak pun yang kelihatan kotor dipakai dalam menutupi badannya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pak Yonky Karman dalam  Visi Perjanjian Lama tentang kemiskinan yaitu berusaha tidak membiarkan kemiskinan menjadi lingkaran setan. Harus ada kesempatan baru untuk memperbaiki nasib dan orang tidak perlu turun temurun miskin. Yang termasuk kaum miskin dalam PL adalah orang asing, anak yatim, janda, pendatang (Im.23: 35; Ul. 24: 20-21). [4] Dapat dikatakan bahwa Pak Acha termasuk dalam golongan miskin menurut Alkitab karena tidak punya tanah atau rumah layak huni di Bandung. Karena Pak Acha tidak memiliki tanah di Bandung maka ia pun merupakan sama seperti orang asing atau pendatang. Dan harusnya mendapatkan kesempatan perbaikan nasibnya.
Dalam hal ini gereja harus berperan aktif dalam melihat masalah yang sedang terjadi di sekitarnya. Gereja-gereja yang ada di Bandung tidak hanya satu, bisa dikatakan banyak gedungnya. Di manakah gereja membawa terang? Harusnya gereja berani melangkah menerangi daerah sekitarnya. Gereja harusnya bisa menjangkau kondisi makroetik yaitu kemiskinan dan keadilan sosial. Sebagaimana dikatakan oleh Pak Yonky bahwa kesalehan individual-vertikal perlu disempurnakan menjadi kesalehan sosial horizontal. Bahkan menurut Emanuel Gerrit Singgih mengatakan bahwa Gereja memang tidak boleh membiarkan diri menjadi alat untuk kepentingan tertentu, tetapi di sini adalah masalahnya bukan menjadi alat melainkan menolong orang miskin, sehingga tidak lagi berada di dalam kemiskinan dan ketergantungan.[5]
Indonesia pun turut aktif dalam melihat golongan miskin yang mengaku sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa ini. Mereka yang dikatakan golongan miskin juga merupakan orang yang mengakui sila pertama Pancasila tersebut. Orang yang menyatakan dirinya ber-Tuhan harusnya hatinya dapat menembus dan melihat keadaan yang dihadapi oleh Pak Acha dan teman-temannya yang senasib dengannya. Harusnya pemerintahan daerah pun lebih menyoroti perhatian terhadap kondisi golongan miskin seperti Pak Acha yang akan menuju lansia ini karena mereka pun tinggal di Indonesia yang selakyaknya mendapatkan keadilan sosial dari pemerintah. Selain itu mereka pun citra daripada kita yang sumbernya dari Sang Pencipta. Selain itu solusi yang akan menjadi proyek kecil dalam masalah ini adalah dalam jangkauan pendek melakukan kunjungan komunikasi agar memiliki keakraban, memberikan pakaian layak pakai, dan jangkauan panjang yang dilakukan adalah menyediakan fasilitas rumah layak untuk tempat berteduh, sehingga mereka tidak tinggal lagi di teras.
Sebagai refleksi pribadi bahwa nyata dan benar bahwa disekitar saya ada kemiskinan. Dan penting menjangkau dan memperhatikan mereka yang miskin ini sebagai saudara bahkan mampu menolong mereka. Selain itu, ajaran mengenai kemiskinan dan keadilan sosial merupakan pengajaran yang sangat penting untuk diketahui oleh seluruh umat Allah.



Tirai




[1] Eriyatno, Solusi Bisnis untuk Kemiskinan (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2013), 9.
[2] Ayo Media Network, “Jumlah Perempuan dan Laki-laki di Kota Bandung, Mana yang Lebih Banyak?,” AyoBandung.com, diakses 5 Juli 2018, http://ayobandung.com/read/2018/02/21/29020/jumlah-perempuan-dan-laki-laki-di-kota-bandung-mana-yang-lebih-banyak.
[3] “Badan Pusat Statistik Kota Bandung,” diakses 5 Juli 2018, https://bandungkota.bps.go.id/statictable/2018/01/02/130/tabel-kemiskinan-di-kota-bandung-tahun-2014-2017.html.
[4] Yonky, Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007),90.
[5] Emmanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam konteks: pemikiran-pemikiran mengenai kontekstualisasi teologi di Indonesia (Kanisius, 2000), 214.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Spiral Hermeneutika, Hermeneutika Terapan

MENCARI DAN MENJADI SEORANG SAHABAT Nats: 1 Samuel 18:1-4

ALLAH BEROTORITAS MENENTUKAN KEHIDUPAN MANUSIA