Mengenal Spiral Hermeneutika, Hermeneutika Terapan



Menulis garis besar Bagian Tiga “Heremeneutika Terapan”
Jumlah halaman              : 417-637 halaman
Judul buku                      : Spiral Hermeneutika Pengantar Komprehensif bagi Penafsiran Alkitab oleh                Grant R. Osborne (halaman 415-631).


            Buku “Spiral Hermeneutika: pengantar komprehensif bagi penafsiran Alkitab” ditulis oleh Grant R. Osborne dan diterbitkan oleh Momentum pada tahun 2012 di Surabaya. Tujuan penulisan buku ini adalah memberikan pemahaman tentang penafsiran terhadap Alkitab yang memerlukan suatu spiral dari teks kepada konteks, dari makna aslinya kepada kontekstualisasi atau signifikansi makna asli tersebut bagi situasi sekarang ini. Sehingga perlu memanfaatkan hermeneutika untuk memadukan penerapan sedekat mungkin kepada penafsiran dan untuk memastikan bahwa penafsiran sejalan dengan makna asli dari teks.
            Untuk lebih mudah memahami buku tersebut dituliskan outline berdasarkan tugas dari mata kuliah “Teologi Hermeneutika di Asia” khususnya pada “bagian 3 Hermeneutika Terapan-Apendiks.” Dalam menulis tugas ini, outline ditulis berdasarkan judul dan sub judul buku, guna mendapat penjelasan yang lebih mudah dimengerti khusunya bagi penulis outline sendiri. Demikianlah ditulis outline dibawah ini berdasarkan judul dan sub judul buku.

I.                   THEOLOGI BIBLIKA 
Pada bagian tiga “Hermeneutika Terapan” dimulai dengan penjelasan theologi biblika, di mana penulisan bermaksud mulai begeser dari teks (makna) menuju pada konteks masa kini. Theologi  biblika membentuk langkah pertama dari eksegese atas perikop individual dan menuju pada pelukisan signifikasi bagi gereja hari ini. Terdapat tiga langkah yang menyatukan perikop dan cara yang dilacak melalui kitab sebagai suatu keseluruhan yaitu: pertama, mempelajari tema-tema theologis dalam kitab/surat secara individual. Kedua, meneliti theologi dari sang penulis. Ketiga, melacak gerak maju dari pewahyuan yang menyatukan perjanjian dan bahkan Alkitab sebagai suatu keutuhan. Sehingga tugas dari theologi biblika adalah mencari keterpaduan tematis menyeluruh dibalik perikop-perikop individual, misalnya keselamatan, kovenan, anugerah. Dan melakukan eksegese sebagai dasar dari theologi biblika berkenaan dengan konteks dekat. Menemukan makna dari struktur lahir dari individual.
Sehingga dapat diuraikan bahwa Theologi biblika merupakan:
a.       Cabang dari penyelidikan theologis yang berkenaan dengan pelacakan tema-tema melalui bagian-bagian yang beragam dari Alkitab (seperti tulisan-tulisan hikmat atau epistel-epistel dari Paulus) dan kemudian mencari tema-tema untuk menyatukan yang menghimpun Alkitab menjadi satu.
b.      I. Howard Marshall mengatakan tujuan theologi biblika adalah untuk menjelajahi perkembangan pemahaman para penulis Perjanjian Baru mengenai Allah dan dunia, lebih khusus lagi dunia dari manusia dan hubungan mereka satu sama lain.
c.       Stephen Motyer  menjelaskan sebagai displin teologis yang kreatif, sarana tempat gereja berusaha untuk mendengarkan suara yang terpadu dari keseluruhan Alkitab yang ditujukan kepada kita sekarang.
d.      Theologi biblika menjadi jembatan kepada theologi sistematik karena theologi biblika juga dimaksudkan bagi kebutuhan konfesional bagi gereja.
e.       Tujuan dari theologi biblika adalah untuk menggambarkan makna theologis  di balik teks dengan tujuan menyediakan suatu dasar bagi kebutuhan-kebutuhan kontemporer dari gereja.

Relasi dengan Displin-Displin Ilmu yang Lain (Theologi biblika dalam hubungannya dengan displin ilmu yang lain).
1.      Theologi Biblika dan eksegese : artinya bahwa theologi biblika menyediakan kategori-kategori dari kesatuan kitab yang menyeluruh dibalik penafsiran seseorang atas perikop individual, sementara eksegese menyediakan data yang kemudian dibentuk menjadi suatu theologi biblika. Dengan kata lain keduanya saling bergantung.
2.      Theologi biblika dan theologi historis: artinya bahwa theologi historis secara teknis berada di antara theologi biblika dan theologi sistematik. Theologi historis mempelajari cara paradigma komunitas-komunitas yang lebih kemudian memahami doktrin-doktrin Alkitab dan memampukan kita memahami perdebatan theologis masa kini dengan lebih baik dengan menempatkan mereka secara dogma. Pada saat yang sama theologi historis menyediakan suatu jalan keluar dari ketegangan antara theologi biblika dan theologi sistematik.
3.      Theologi Biblika dan Theologi Sistematik : artinya theologi Alkitab bersifat deskriptif, melacak penekanan-penekanan individual dari para penulis Kitab Suci dan kemudian mengumpulkan penekanan-penekanan itu ke dalam thema besar utama yang menyatukan kedua perjanjian. Theologi sistematik menjadi tahap pengantara dari jembatan antara apa makna aslinya (pekerjaan eksegesis dan theologi biblika), apa maknanya pada masa kini (pekerjaan thelogi sistematik) dan bagaimana penerapannya (pekerjaan theologi homeletik).
4.      Theologi biblika dan theologi homilitik : artinya sebagaimana diungkapkan oleh P. J. H. Adams mengatakan bahwa “theologi biblika menuntut adanya seorang pengkhotbah.” Tidak ada lingkaran hermeneutika tunggal tetapi lebih merupakan suatu spiral yang saling berhubungan dari ranah-ranah dialog. Tujuannya adalah untuk mengizinkan apa yang dulu teks itu maksudkan sekarang berbicara secara baru kepada gereja.

Wilayah-Wilayah Masalah Khusus
1.      Kesatuan dan Keberagaman: artinya bahwa memang ada keberagaman yang besar antara kitab-kitab dalam Alkitab. Genre dan tujuan yang berbeda berasal dari sejumlah besar situasi dan masalah yang dihadapi oleh Israel dan gereja mula-mula. Namun kita jangan mengasumsikan kesatuan atau keberagaman tanpa memperhatikan faktor-faktor seperti latar belakang, medan makna, pengaruh komunitas atau perkembangan sosiologis dari Israel dan geraja.
2.      Sejarah tradisi: artinya bahwa seorang theolog Alkitab harus menyadari proses pentradisian di Israel dan gereja awal, namun ini hanya satu faktor dari sekian banyak senjata eksegesis dan bukan komponen kunci dalam pembentukkan sejarah dogma di dalam periode Alkitab.
3.      Theologi dan Kanon: artinya kanon menuntut adanya perspektif tentang kesatuan dari kitab suci yang tidak mengizinkan komunitas ataupun pakar Alkitab menjadi lebih berkuasa melebihi teks kanonis itu sendiri.
4.      Analogia fidei dan pewahyuan progresif: artinya bahwa analogi tentang iman atau lebih tepatnya prinsip tentang Kitab Suci menjelaskan Kitab Suci merupakan suatu konsep kunci dalam menjelaskan tentang makna theologis. Sehigga analogia scriptura merupakan kunci menuju suatu theologi Alkitab yang tepat dan unsur yang penting dalam pendekatan kanonis.
5.      Otoritas: artinya bahwa ilmu hermeneutika memampukan kita merunut kembali maknanya dari preposisi yang asli, dan theologi biblika merupakan bagian dari proses itu sebagai sarana kita mengizinkan berita yang otoritatif itu berbicara kepada kita pada masa kini.
6.      Sejarah dan theologi: artinya sejarah dan theologi bukanlah antitesis, dan siswa harus mencari suatu sejarah yang disisi secara historis takkala keduanya menarik teks masa lalu dan gereja masa kini ke dalam dialog dan kedekatan.
7.      Bahasa teks dan makna: artinya bahasa mengandung metafora mati (statis) dan hidup (dinamis), maka Alkitab dapat menjadi kebenaran preposisi (statis) dan bahasa peristiwa (dinamis). Sehingga theologi biblika menjadi elemen penting di dalam interaksi di antara Allah dan dunia ini.
8.      Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru: artinya tidak mungkin memisahkan kedua perjanjian , theologi biblika yang benar harus memulai dengan pengakuan tentang adanya kesatuan dan menampilkannya.

Menuju Suatu Metodologi
            Adapaun beberapa metode yang digunakan mengembangkan theologi Alkitab yaitu:
1.      Metode sintesis: artinya tema-tema theologis dilacak melalui sastra Alkitab dalam hubungaan dengan berbagai periode historis. Kekuatan dari metode sintesis terletak pada penekanannya atas kesatuan dari Kitab Suci. Namun kelemahannya adalah kategori-kategori dapat dengan mudah dipaksakan dari luar theologi ketimbang muncul secara alami dari dalam teks.
2.      Metode analistis: artinya mempelajari penekanan-penekanan theologis yang berbeda dari masing-masing kitab dan perkembangan tradisi-tradisi agar memahami berita yang unik dari tiap kitab. Kelemahannya adalah mengumpulkan masing-masing theologi tanpa adanya kohesi, di mana perhatiannya hanya pada asal usul yang bersifat silsilah ketimbang pada iman yang hidup yang menghasilkan dokumen-dokumen.
3.      Metode sejarah agama: artinya metode ini menjelaskan perkembangan ide-ide religius di dalam kehidupan Israel dan gereja mula-mula. Metode ini berpusat pada sejarah sementara pendekatan analistis berpusat pada theologi. Kelemahannya adalah ketika metode itu melenceng keluar kerangka Alkitab dan mencari suatu revisi data yang spekulatif, metode ini menjadi terlalu subjektif untuk dimanfaatkan.
4.      Metode-metode diakronis: artinya sebagaimana diungkapkan oleh Von Rad bahwa sejarah tradisi memberikan suatu kunci yang positif menuju pada potret teks Alkitab yang kerigmatis; pengembangan pengakuan iman dari komunitas memiliki relevansi theologis yang besar ketimbang suatu sejarah yang direkronstruksi dari komunitas itu.
5.      Metode Kristologis: artinya metode ini memiliki beberapa kelebihan, adanya kecenderungan semangat mensejarahkan yang berlebihan diantara banyak theolog Alkitab dan mengakui sentralitas dari iman Kristen: bagi orang Kristen keseluruhan, Alkitab memang menunjuk kepada Yesus Kristus. Kelemahannya adalah hampir semua praktisii mengalegorikan dan merohanikan teks-teks Perjanjian Lama untuk menyesuaikannya dengan banyangan Kristus yang telah dibentuk sebelumnya atau hal-hal seperti itu.
6.      Metode konfesional:artinya para praktisi dari metode konfesional menganggap Alkitab merupakan serangkaian pernyataan iman yang menuntut ketaatan dan dengan demikian melampaui sejarah. Kelebihannya adalah pengakuannya atas sentralitas dari kredo dan penyembahan di dalam iman Alkitab. Kelemhannya adalah memaksakan makna lebih banyak ke dalam Perjanjian Lama ketimbang apa adanya dan cenderung memaksakan kategori-kategori theologis pada pernyataan Alkitab di dalam kedua perjanjian.
7.      Metode narasi: artinya melacak perkembangan ide-ide theologis di dalam satu kitab ketimbang menata tema-temanya secara topikal di dalam karya tersebut. Sehingga kelebihannya adalah memuaskan komponen historis dari theologi biblika. Kelemahannya adalah metode ini seringkali dapat merosot menjadi  suatu survei yang berlebihan atas isi dari kitab tersebut.
8.      Metode multipleks: artinya upaya membangun theologi biblika dengan lima kriteria yaitu; pertama, datanya harus mencerminkan theologi. Kedua, memanfaatkan bentuk final kanonis dari dokumen. Ketiga, karyabilika yang individua dan kemudian menjelaskan tema yang menyatukan theologi biblika. Keempat, tujuannya adalah melacak yang menyatukan kesatuan dinamis. Kelima, mengintegrasikan kedua perjanjian, dengan menyebut keberagaman maupun kesatuan di antara keduanya.
9.      Masalah pusat yang menyatukan: artinya masalah ini terletak pada kesatuan dari keberagaman tema theologi Alkitab.Namun hal yang terpenting adalah tema-tema yang menyatukan harus ditarik dari keluar teks ketimbang dari imajinasi seorang theolog dan harus benar-benar merangkum sub-sub thema lainnya dari kitab suci.

II.                THEOLOGI SISTEMATIK
Theologi sistematik patut disebut sebagai ratunya ilmu Alkitab, di mana theologis sistematik merupakan sasaran yang tepat dari studi dan ajaran Alkitab. Tujuan dari bab ini adalah menyediakan suatu metodologi untuk mempertimbangkan dan memutuskan di antara sejumlah pilihan dan untuk membahas isu-isu serius yang terlalu sering diabaikan oleh para theolog.
Komponen-Komponen Dari Bangunan Theologis
            Ada pun komponen-komponen dari bangunan theologis yang dapat menjelaskan kebenaran-kebenaran ilahi yang diwahyukan pada zaman kita yaitu:
1.      Kitab Suci: artinya faktor penentu yang pertama adalah pandangan seseorang mengenai otoritas Alkitab. Alkitab diinspirasikan, Firman Allah dinyatakan, menerimanya sebagai otoritas final dari semua penyataan doktrinal. Bagi para ahli, Kitab Suci merupakan suatu kesaksian yang berharga mengenai kuasa Allah di dalam kehidupan komunitas namun bukan otoritas final bagi formulasi theologis. Kitab Suci menuntut menjadi dasar bagi keyakinan dan praktik. Pada akhirnya Alkitab menjadi penentu dasar dan final bagi semua perkembangan doktrinal.
2.      Tradisi: tradisi memiliki dampak yang positif dan negatif atas bangunan theologis. Secara negatif, tradisi seringkali lebih mempengaruhi pembentukan keyakinan-keyakinan kita ketimbang Kitab Suci dan dengan demikian dapat menjadi penghalang untuk menemukan kebenaran. Secara positif, tradisi menuntun dan menerangi tugas kita pada setiap langkah dan merupakan suatu penolong yang diperlukan menuju pemahaman.
3.      Komunitas: artinya dalam satu pengertian komunitas orang beriman merupakan bagian dari proses pentradisian. Pada pihak lain komunitas orang beriman menjadi topik terpisah karena komunitas menerapkan kendali atas tradisi dan menilai kembali data sejarah untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya. Pada akhirnya komunitas menuntun pengalimatan dan penyusunan atas kontruksi-kontruksi theologis dari individu dan juga seluruh sistem, dengan itu mengontekstualisasi ulang formulasi-formulasi tradisional bagi dunia modern.
4.      Pengalaman: artinya pengalaman-pengalaman seseorang ditafsirkan berdasarkan pengajarann-pngajaran komunitas; keduanya sangat dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan tradisional; dan semuanya itu dijelaskan oleh Firman Allah.  
5.      Filsafat: artinya seorang theolog haruslah sungguh-sungguh menjadi seorang manusia pencerahan, karena harus mengeksegesis Kitab Suci, membentuk tema-tema theologis melalui theologi Alkitab, menyadari perkembangan dogma sepanjang sejarah gereja, kemudian mengontekstualisasi semua itu bagi situasi modern; dan pemikiran filosofis memainkan peranan penting pada setiap tahap.  Pada akhirnya Kitab Suci memiliki suara yang normatif, dan filsafat menjadi suatu pelengkap bagi theologi dalam membantu theologi memformulasikan ulang kebenaran-kebenaran Alkitab secara rasional dan koheren untuk berbicara pada situasi terkini. Theologi dan filsafat bukan rekan yang setingkat, karena theologi mengandung kebenaran yang tinggi, namun filsafat memaksa seorang theolog menjadi logis dan terbuka bagi pengungkapan atau penjelasan yang baru mengenai kebenaran-kebenara yang kekal tersebut.

Isu-Isu Dalam Bangunan Theologis
1.      Inspirasi/pewahyuan: artinya isu mengenai inspirasi harus ditetapkan sebelum kita boleh mulai membentuk suatu theologi sistematik. Jika seorang theolog menerima pandangan tradisional mengenai, bahwa Allah telah menyingkapkan diri-Nya dalam Kitab Suci, Alkitab akan menyediakan bahan tempat doktrin didasarkan dan komponen-komponen lain (tradisi, komunitas, pengalaman) akan dimanfaatkan untuk melukiskan ulang kebenaran Alkitab bagi situasi modern.
2.      Masalah mengenai metafora: artinya metafora mengkomunikasikan diri mereka sendiri secara tidak langsung namun janganlah dikontraskan secara berlebihan dengan bahasa harafiah, seolah-olah suatu hubungan yang tidak langsung kepada realitas (metafora) kurang bermakna ketimbang suatu hubungan yang langsung kepada realitas (harafiah).
3.      Model-model Theologis: artinya suatu penggambaran yang lebih permanen dan menyeluruh sehingga menjadi suatu pola bagi keyakinan. Model ini juga menjadi sarana heuristik yang digunakan untuk menyusun dan menata ide-ide yang terkait. Setiap model mewakili cara posisi menata dan mengonseptualisasi data-data Alkitab atas dasar tradisi, komunitas dan pengalaman.
4.      Kesementaraan dan otoritas dari penyataan-penyataan theologis: artinya dalam setiap konstruksi theologis, ada suatu ketegangan alami antara natur kesementaraan dari semua konseptualisasi dan otritas final yang dimiliki dalam struktur keyakinan seseorang dan di dalam komunitas. Faktanya, ketegangan di antara kesementaraan dan otoritas merupakan komponen yang diperlukan dari setiap theologi sistematik. Proses-proses verifikasi dan komunitas itu sendiri memberi komunitas kepada model theologis seiring model itu menempuh ujian waktu dan menjawab tantangan-tantangan dari pihak-pihak yang bersaing.
5.      Theologi sebagai kontekstualisasi: artinnya theologi sistematik merupakan suatu kontekstualisasi dari theologi Alkitab, yang disaring melalui sejarah dogma namun dikontekstualisasi kembali untuk situasi modern dan disusun serta diekspresikan di dalam pola-pola pemikiran yang sedang berlaku.
6.      Verifikasi validasi dari penegasan-penegasan theologis: artinya mengukur kesementaraan dan otoritas dari bangunan theologi dengan melakukan metode verifikasi yaitu realisme kritis. Ada enam langkah melakukan validasi terhadap suatu bangunan theologis yaitu: pertama bangunan tersebut sesuai dengan data Alkitab. Kedua, penegasan dogmatis memiliki satu model yang tepat dari bahan Alkitab yang menyeluruh. Ketiga, formulasi memberikan suatu gambaran yang lebih baik mengenai doktrin  ketimbang gambaran dari pihak yang bersaing. Keempat,  sistem yang saling bersesuaian dan membentuk suatu pola yang layak. Kelima, kriteria mengenai kesinambungan atau ketahanan, mempermasalahkan. Keenam, banyak aliran pemikiran telah menerima kelaikan dari penegasan (kriteria kawin silang).
7.      Politik dari pengambilan keputusan Theologis: artinya tidak dapat mengabaikan dampak-dampak  politis bila keputusan-keputusan theologis sudah dibuat. Perhatian utama kita adalah menjaga kebenaran Alkitab dan memelihara “harta yang indah, yang telah dipercayakan” kepada kita (2 Tim. 1:14).
8.      Pergeseran Postmodern: artinya pergesaran postmodern secara tepat berpusat pada komunitas, namun dalam mengganti cara pikir yang logis dengan komunitas yang menafsir sebagai acuan dari kebenaran theologis, sudah merupakan langkah yan terlalu jauh. Kebenaran thelogis berpusat pada Alkitab, bukan berpusat pada komunitas, dan tidaklah bebas bergantung pada komunitas  tempat anda bergabung.
9.      Metode theologis dan theologi sistematik: artinya respon yang tepat bagi suatu masyarakat postmodern adalah mengalami Allah di dalam suatu cara yang baru dengan menghidupi teks-teks Alkitab dan mengalaminya sebagai ucapan tindakan komunikasi Allah. Di mana norma yang sejati adalah drama dari Firman Allah yang diperankan dalam kehidupan kita, pergeseran kanonik linguistik yang di dalamnya pemahaman yang dicari iman yang bersifat dramatik ketika kovenan mempengaruhikomunitas. Dan doktrin harus dipahami kemudian disintesiskan ke dalam suatu susunan logis dan akhirnya dihidupi di dalam kehidupan sehari-hari.

Prinsip-Prinsip Hermeneutika 
            Prinsip-prinsip hermeneutika secara berurutan:
1.      Secara sadar bangun kembali prapemahaman. Hati-hati menjelaskan di mana kita dan tradisi kita berpijak pada doktrin dan menempakan semuanya dihadapan Alkitab akan membebaskan kita menggunakan prapemahaman kita secara positif.
2.      Secara induktif  mengumpulkan semua perikop yang berkaitan dengan isu tersebut.
3.      Mengeksegese semua perikop di dalam konteks masing-masing
4.      Susunlah perikop-perikop tersebut ke dalam suatu teologi Alkitab.
5.      Lacaklah perkembangan kontekstualisasi dari doktrin itu melalui sejarah gereja
6.      Pelajari model-model yang bersaing dari doktrin tersebut.
7.      Reformulasikan dan rekontekstualisasikan model tradisional itu bagi budaya kontemporer. (Isi dari doktrin di dasarkan pada ajaran Alkitab tidak boleh dilanggar, namun pengungkapan dan gambaran ulangnya berubah seiring perubahan proses pemikiran dari suatu budaya).
8.      Setelah doktrin-doktrin individual telah diformulasikan kembali, mulailah menyusun doktrin-doktrin itu dan mengerjakan kembali model-model yang sistematis itu.


III.             HOMILITIKA I KONTEKSTUALISASI
Osborne mengatakan bahwa belajar kitab suci tidak akan pernah lengkap sampai seseorang beralih dari teks ke konteks. Kitab Suci tidak boleh sekedar dipelajari; Kitab Suci harus diyakini dan kemudian diberitakan. Aspek dinamis dari Firman ini merupakan tugas dari kontekstualisasi dan analisis homiletis. Ini adalah tugas pengkhotbah yaitu memastikan agar Firman berbicara pada hari ini sejelas pada zaman dahulu. Kegagalan terutama karena para ahli homeletika telah gagal menyediakan dasar hermeneutika untuk penerapan.  Peneramapan di dalam kontekstuaisasi, yaitu proses  dinamis yang menafsir signifikansi dari suatu agama atau norma budaya bagi satu kelompok dengan warisan budaya yang berbeda.
1.      Contoh-Contoh dalam Alkitab
Isu kuncinya adalah relevansi; prinsip-prinsip religius secara terus-menerus harus disesuaikan untuk menghadapi tantangan-tantangan baru dari budaya. Contohnya adalah:
a.       Taurat yang dikembangkakan bagi Israel pada masa periode pengembaraan dan penaklukan, tidaklah bisa langsung diterapkan pada budaya kosmolitan dari periode Greko-Romawi. Oleh karena itu orang Yahudi mengembangkan suatu taurat lisan untuk mengontekstualisasikan hukum-hukum bagi situasi yang baru.
b.      Philo, misalnya paling dikenal sebagai orang yang telah mengontekstualisasikan Yudaisme bagi gaya hidup Yunani.
c.       Terjadi akulturasi pergerakan gereja dari suatu sekte Yahudi menuju agama universal bagi semua bangsa.

2.      Isu-isu yang Sedang Beredar
Debat misiologi yang terkini berpusat pada pengontekstualisasian yang ‘dinamis ekuivalen,’ berupaya menjadikan Injil dan theologi Kristen penuh makna dan mengena di dalam beragam budaya dan dunia yang modern. Sebagaimana maksud dari aliran dinamis ekuivalen bahwa kita harus melampaui theologis cara Barat dan menuju kepada teks. Tentu saja, ini bukan berarti bahwa gereja-gereja Barat berhak memaksakan ‘bentuk-bentuk’ mereka pada gereja-gereja dunia ketiga. Misalnya orang Kristen Afrika harus menciptakan suatu theologi yang asli mengungkapkan kembali isi Alkitab yang normatif di dalam simbol-simbol dogmatis yang mengkomunikasikan kebenaran-kebenaran Alkitab kepada budaya mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuk spriral hermeneutika yaitu teks sendiri menetapkan agenda dan secara terus menerus membentuk pertanyaan-pertanyan pengamat kepada teks tersebut. Kemudian biarlah Kitab Suci menantang dan kemudian mentransformasikan budaya penerima, akan tetapi dalam suatu arah yang lebih emik ketimbang yang etik. Pengamat atau pemberita harus mengkontekstualisasikan diri sendiri untuk mengenali ‘teks’ dan juga mengkontekstualisasikan diri sendiri kepada ‘budaya penerima’. Sehingga disnilah model ekuivalen dinamis harus diulang, sehingga pengkhotbah/penerjemah siap memberitakan Firman Allah.


3.      Norma-Norma Kultural dan Suprakultural dalam Kitab Suci
Kesulitan utama dalam mengontekstualisasikan Kitab Suci adalah menentukan secara tepat manakah unsur-unsur yang terikat budaya atau waktu dalam suatu perikop dan manakah prinsip-prinsip yang suprakultural atau kekal. Oleh karena itu, kebutuhan utamanya adalah aturan-aturan hermeneutika yang akan membantu penafsir dalam memilah mana yang terlihat budaya dari yang suprakultural dalam satu perikop.
4.      Model Hermeneutika
Osborne mengajukan model hermeneutika untuk kontekstualisasi Alkitab, dengan tujuan menyediakan serangkaian  aturan utama untuk membedakan bagian yang memiliki implikasi kekal dengan penerapan budaya di dalam seluruh Kitab Suci. Ada 3 langkah dasar di dalam proses menentukan apakah suatu perintah khusus itu normatif atau kultural, apakah perintah itu berlaku pada tingkat lahir atau batin (bersifat prinsip) yaitu:
a.    Kita memperhatikan sejauh mana indikator-indikator suprakultural itu dijumpai dalam perikop tersebut.
b.    Kita harus menentukan tingkatan tempat perintah-perintah itu terikat pada praktik-praktik budaya yang berlaku dalam abad pertama namun tidak ada lagi sekarang.
c.    Kita harus memperhatikan jarak antara indikator suprakultural dan indikator kultural.

5.      Prisnsip-Prinsip untuk memastikan Kandungan Suprakultural

Adapun prinsip-prinsip untuk memastikan kandungan supranatural yaitu:
a.    Cobalah tentukan sejauh mana prinsip theologis yang mendasari mendominasi penerapan dari pernyataan lahir. Misalnya, perintah untuk menyapa ‘dengan ciuman kudus’ di dasarkan pada prinsip kasih yang mutual, kita dapat menerapkannya lagi hari ini, saling menyapa dengan kasih dan komitmen Kristen, tetapi tidak harus degan suatu ‘ciuman kudus’.
b.    Perhatikan kapan penulis bergantung pada pengajaran tradisional atau pada sisi lain menerapkan suatu penerapan sementara kepada suatu masalah kultural yang khusus. Ini sangat menolong untuk mengenali kapan penulis itu meminjam dari pengajaran yang lebih awal.
c.    Pengajarannya melampaui prasangka kultural dari penulis dan para pembaca, pengajaran dari perikop tersebut lebih mungkin bersifat normatif.
d.   Jika perintah itu secara menyeluruh terikat kepada satu situasi kultural, perintah itu sendiri bukanlah abadi. Cherly Guth mengusulkan utuk menguuji hal tersebut yaitu: pertama, apakah bahasa penulis mengandung petunjuk-petunjuk kultural yang mengarahkan seseorang  untuk mencari norma ilahi dibalik penerapan sementara? Kedua, apakah perintah itu menunjuk kepada suatu kebiasaan lokal atau institusi kultural. Ketiga, apakah penulis hanya berbicara kepada suatu situasi atau masalah budaya yang khusu? Keempat, Akankah perintah itu menjadi isu hari ini jika hal itu dulu tidak disebutkan dalam kitab suci?
e.    Perintah-perntah yang bersifat moral atau theologis akan terikat erat pada kehendak ilahi.

6.      Metode untuk Kontekstualisasi
Kunci menuju kotekstualisasi adalah mengupayakan adanya suatu peleburan yang sejati antara cakrawala-cakrawala dari teks Alkitab dan cakrawala dari situasi modern. Namun seorang penafsir harus mencari suatu kaitan yang signifikan antara konteks asli dan konteks penerima sebelum kontekstualisasi yang sejati dapat diwujudkan. Di mana jika tugas yang tepat dari penerjemahan dan eksegesis adalah menanyakan apa yang akan dilakukan penulis asli (yaitu, kebenara yang dipaparkan di dalam perikop) jika ia berbicara kepada pendengar saya, tugas kontekstualisasi adalah untuk menentukan ‘apa yang diminta para pendengar asli (apa yang penulis minta mereka lakukan) dapat dialami kembali oleh pendengar.’
7.      Mengembangkan Budaya Gereja yang Telah di Transformasikan
Menyedihkan sekali jika banyak gereja mulai menyerupai dunia di sekitar mereka dan menjadi sekadar suatu hiburan lain, suatu klub seperti Rotary International atau Lions Club International. Satu bagian penting mengkontekstualisasikan injil adalah mengkontekstualisasikan etos dari Injil itu dalam gereja-gereja lokal. Jadi sebagai seorang theolog harus menolong dari hal-hal yang berbahaya di dalam gereja dengan mempertahankan kesentralan Kristus. Sebelumya harus mengenali budaya dibalik gereja kita lebih dulu. Namun kuncinya adalah suatu semangat yang inovatif yang dituntun leh Roh Kudus.

IV.             HOMILETIKA II: KHOTBAH
Studi ini tidak lengkap tanpa kontekstualisasi dan homelitika. Khotbah merupakan mekanisme jembatan yang menyatukan dunia kuno dari teks Alkitab dengan dunia modern dari jemaat. Kontekstualisasi merupakan semen yang mengikat dua dunia menjadi satu, di mana pengkhotbah berupaya membantu jemaat untuk memahami relevansi dari teks bagi kehidupan. Sebab perlu hati-hati terhadap gereja yang mulai mencerminkan masyarakat, dengan kata lain menjadi gereja sekuler. Oleh sebab itu sebagai komunikator/ pengkhotbah hendaknya membangun suatu dialog yang membangun jemaat memahami signifikansi yang benar dari Firman Allah.
1.      Tempat Roh Kudus
Setiap strategi ataupun prinsip bukan hanya diatur oleh prosedur-prosedur ilmu hermeneutika atau seni pengalaman pastoral, tetapi oleh penaungan rohani dari Roh Kudus. Sebab hanya Roh Kudus yang dapat menguatkan pengkhotbah agar pesanna dijelaskan bukan dengan ‘kata-kata yang meyakinkan’ dari hikmat manusia tetapi lebih memperlihatkan Roh Kudus dan kuasa Allah (1 Kor. 2:4-5). Roh itu mengurapi ucapan-ucapan seorang pengkhotbah. Namun sarana-sarana hermeneutika semuanya menyediakan keuntungan bagi kehendak Roh dalam tindakan penafsiran  dan memanfaatkan kapasitas rasional kita untuk menarik kesimpulan-kesimpulan dari data yang ada.
2.      Suatu Pengalaman Perenungan
Osborne menyatakan bahwa firman Allah menuntut kesetiaan dan ketaatan kita sebelum Ia meminta kita melayani sesama. Sehingga haruslah ada suatu pengalaman perenungan.  Terdapat 3 alasan pengalaman perenungan yaitu:
a.       Firman Allah itu sendiri menuntut hidup kita diubah sebelum mengambil bagia dalam misi.
b.      Kita tidak boleh meminta seseorang melakukan apa yang kita sendiri enggan melakukannya.
c.       Ketika hidup kita telah disentuh oleh pesan yang kita beritakan, pesan itu akan dikhotbahkan dengan suatu gairah dan urgensi yang tidak akan sedemikian jika kita belum disentuh secara pribadi.

3.      Theologi Khotbah yang Alkitabiah
Paulus mengatakan bahwa Allah secara khusus menggunakan pemberitaan sebagai bagian dari rencana penyelamatan-Nya dan mengutus para pemberita sebagai wakil-Nya yang resmi. Oleh karena itu dunia dijangkau melalui pemberitaan kebenaran-kebenaran Injil. Theologi dianggap menjadi penengah antara eksegesis dan khotbah, dan melalui khotbah, theologi diwujudkan di dalam kehidupan orang-orang dengan cara membangun dialog dengan mereka. Pada waktu yang sama khotbah menghidupkan theologi dan memberikan kepadanya sifat kerygmatis.
4.      Dari Teks ke Khotbah
Osborne menuliskan empat langkah perkembangan yang tepat dalam pembuatan khotbah:
a.       Penafsir harus mempelajari situasi asli dibalik pesan dari teks.
b.      Penafsir harus menentukan prinsip theologis yang mendasari di balik teks itu.
c.       Murid firman garus merenungkan kebenaran-kebenaran Alkitab dan theologis yang dipelajari.
d.      Pembaca berusaha mengerti kesejajaran antara situasi asli yang dibicarakan oleh penulis suci dan pengalaman-pengalaman kontemporer dari orang Kristen dan gereja.

5.      Prinsip-Prinsip untuk Menentukan Penerapan
Pertanyaan dasar kita adalah, jika Paulus (Yeremia, dll.) sedang mmberitakan prinsip ini kepada jemaat kita, isu apakah yang akan ia bicarakan? Artinya bahwa pokok yang asli dari perikop itu diungkapkan kembali dalam bentuk-benttuk pemikiran budaya penerima, entah budaya kita ataupun budaya lain. Terdapat tiga tahap menentukan makna dan signifikansi aktual dari suatu teks yaitu:
a.       Tahap pertama, harus merekapitulasikan langkah-langkah untuk pengontekstualisasian dan menerapkannya pada penerapan dalam khotbah.
b.      Tahap kedua, ketika beralih dari teks menuju konteks adalah melukiskan prinsip teologis yang mendasar.
c.       Tahap ketiga, mencakup suatu pencarian atas stuasi-situasi yang sejajar di dalam kehidupan jemaat sekarang.

6.      Metode-Metode Praktis untuk Menerapkan Suatu Teks
Ada tiga tipe penerapan dan baik digunakan sebagai daftar kendali untuk memastikan sejumlah teknik di dalam khotbah-khotbah kita (Broadus) yaitu:
a.       Berfokus pada klain kebenaran: menjaga keseimbangan antara yang langsung dan terselubung.
b.      Mengusulkan cara-cara dan sarana-sarana: menolong pendengar untuk berpartisipasi dalam proses penerapannya. Tipe penerapan bisa dalam bentuk: ilustrasi-ilustrasi, pilihan ganda, dan narasi.
c.       Persuasi dan motivasi: persuasi dan motivasi harus bergantung penuh kepada Roh Kudus yang mengubah kehidupan dan mencari hikmat sebagai saluran bagi Roh melakukan tugas-Nya.
Kesimpulan bagian Homeletika II Khotbah ini adalah tugas hermeneutika adalah mencari makna teks, kemudian penafsir menanyakan sampai sejauh mana pesannya menentukan bagi dunia, selanjutnya pengontekstualisasian, dan mempersiapkan khotbah.  Cara mempersiapkan khotbah adalah mengembangkan suatu pernyataan tesis (yang bersifat dalil), membuat garis besar khotbah, memohonkan kepada Allah untuk memberi kepenuhan, menyiapkan pendahuluan dan kesimpulannya.

V.                APENDIKS I: MASALAH MAKNA: ISU-ISUNYA
Proses penemuan makna dari suatu ucapan yang tertulis memiliki tiga fokus: penulis-teks-pembaca.
Masalah Pembaca dan Teks
1.      Hermenutika yang berpusat pada penulis
Misalnya Friedrich Schleiermacher yang menjadikan penulis sebagai pusat sebagai pusat dari proses hermeneutika lebih dari teksnya melampaui batas-batas yang memungkinkan dari teori hermeneutika. Ini adalah kesalaha karena telah melakuka reduksionisme, yaitu menyederhanakan suatu proses pemahama yang rumit menjadi studi psikologis atas diri penulis.
2.      Pergerakan menjauh dari teks-penulis: Gadamer
Gadamer beranjak beranjak dari penulis dan teks menuju perpaduan dari teks dan pembaca, yang lebih berakar pada masa kini ketimbang pada masa lalu. Memahami bukanlah terutama berarti membawa pemikiran seseorang kembali kepada masa lalu, tetapi suatu keterlibatan masa kini di dalam apa yang dikatakan.
3.      Strukturalisme
Bagi kaum strukturalis orang tidak boleh memanfaatkan pendekatan diakronis kepada teks untuk menjelaskan apa yang dulu dimaksud di masa lalu tetapi harus memakai suatu pendekatan sinkronis untuk menguraikan apa yang dimaksud di masa kini. 
4.      Poststrukturalisme
Poststrukturalisme bereaksi melawan asumsi kaum strukturalis bahwa sandi-sandi linguistik memberikan suatu garis langsung menuju makna dari suatu bahasa atau teks. Dan proses yang aktual dan hasil penafsirannya ditentukan oleh sang pembaca bukan oleh kitabnya.
5.      Kritik respons-pembaca
Kritik respon-pembaca merupakan puncak dari gerakan yang menjauhi penulis/teksdan mendekati pembaca. Kritik respon-pembaca melampaui kaum poststrukturalis dengan tidak hanya mengajukan otonomi dari teks tetapi perpaduan yang nyata antara teks dan pembaca pada momen respon. Tindakan ini lebih berpusat pada pembaca ketimbang teks. Teks adalah objek hanya dalam pengertian secara fisik karena makna hanya ada di benak pembaca. Dengan kata lain, teks menghilang dan pembaca menciptakan makna.
6.      Dekonstruksi
Dekonstruksi berusaha membebaskan bahasa dan retorika dari hambatan-hambatan filosofis. Jacques Derrida yang melakukan pendekatan ini, di mana ia menyatakan bahwa orang tidak dapat mengetahui ‘makna asli’ dari teks manap\ pun. Makna yang diperoleh sang penafsir berbeda secara radikal degan makna dari penulis. Osborne menyatakan memang sangat sulit memperoleh makna yang asli, tetapi pembaca memiliki tanggung jawab etis untuk mempertimbangkan makna yang dimaksud suatu teks, khususnya jika suatu teks itu pada intinya meminta kita melakukannya. Gerakan dekrontruksi ini merupakan permainan kuasa, mengganti kuasa dari teks dengan kuasa dari individu untuk melakukan apa yang dikehendakinya.



Posisi-Posisi Tengah
            Para ahli modern mencoba menempa suatu titik temu atau posisi tengah tempat ketiga elemen – penulis, teks dan pembaca – memainkan peran, yaitu:
1.      Paul Ricoeur
Penjarakan (jarak antara teks yang historis dan pembaca masa kini) menjadi suatu penghalang antara pembaca dan penulis, namun di dalam teks, dunia atau cakrawala itu menjadi satu. Oleh karena itu, penafsiran itu berpusat pada teks, bukan berpusat pada penulis. Peran hermeneutika di sini adalah menemukan dunia yang baru, mengalaminya dan dengan itu menggabungkan makna objektif dengan relevansi eksistensial dengan menunjuk ke arah dunia dari teks dan dunia dari diri pada waktu yang sama. Bagi Rcoeur, kuncinya adalah menempatkan seseorang di hadapan teks ketimbang di belakangnya, untuk mengizinkan dunia tekstual itu mengendalikan proses hermeneutisnya.
2.      Pendekatan-Pendekatan Kritik Kanon
Sebagaimana yang diktakan oleh Childs adalah harus mengakui bahwa pembentukan kanonis dari teks Alkitab merupakan kunci hermeneutik menuju penafsiran di kemudian hari ketika orang beralih dari masa lalu ke masa kini.
3.      Wittgenstein dan para pengikutnya
Wittgenstein beranjak lebih dekat menuju sentralitas dari penulis/teks untuk mencari makna. Dua tokoh yang mengembangkan pemikiran Wittgenstein yaitu J. L Austin yang menegaskan bahwa kata-kata yang bermakna bukan dari mereka sendiri tetapi ketika mereka dirangkaikan dalam kalimat di dalam konteks-konteks lisan/tertulis. Dan John Searle yang membawa Wittgenstein dan Austin menuju tingkat selanjutnya dalam teorinya “ucapan tindakan.” Yaitu mengucapkan suatu bahasa berarti terlibat dalam suatu bentuk perilaku yang dikuasai-aturan (yang sangat rumit). Pengetahuan yang diperoleh dari ucapan tindakan berasal dari konvensi-konvensi komunikasi yang dipakai bersama oleh penulis dan pembaca.
4.      Kembalinya sang penulis: Betti, Hirsch, Juhl
Bagi Betti bahwa aturan-aturan hermeneutika dapat mengendalikan penafsiran subjektif dan mengarahkan kepada penafsiran objektif. Teks sebagai objek masih tetap dapat menjadi suatu tujuan yang valid, karena baik teks maupun pembaca sama-sama menikmati dunia yangtransendental, suprahistoris. Bagi E.D. hirsch, ia memisahkan makna (tindakan memahami suatu teks atas dasar seluruh medan makna) dan “signifikansi” (tindakan menyisipkan makna ke dalam konteks-konteks yang berbeda, seperti buadaya modern). Pembaca harus menjaring semua penafsiran yang potensial dengan memahami “implikasi-implikasi” dari tiap kemungkinan. P.D. Juhl sependapat dengan tujuan Hirsch namun tidak setuju jika harus memisahkan penulis dari teks yang ditulis penulis. Jhul menegaskan bahwa ada suatu hubungan logis antara penyataan-penyataan tentang makna dari suatu karya sastra dan pernyataan-pernyataan tentang maksud penulis. Oleh karena itu, ketika menentukan makna yang dimaksudkan dari teks, kita menemukan makna yang dimaksud penulis.
VI.             MASALAH MAKNA: MENUJU SOLUSI
Tujuan bagian ini adalah melanjutkan dialog dan memanfaatkannya untuk menyarankan suatu solusi atas dilema penulis-teks-pembaca.
1.      Makna dan Rujukan: Sumbangsi Filsafat Analistis
Sebagaimana pendekatan yang dilakukan oleh Austin, Filsafat analistis bahwa dalam hermeneutika, bahasa memiliki suatu fungsi performatif dan juga dimensi asertif. Dalam hal pengertian ucapan tindakan yaitu: lokusioner artinya apa yang dimaksud oleh suatu kalimat, ilokusioner artinya apa yang kalimat itu capai (penegasan, janji, prediksi), perlokusioner artinya berusaha menghasilkan pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan dari ucapan tindakan-tindakan (pengajaran, imbauan). John Searle memperdalam dan memperluas posisi Austin yaitu dasar dari suatu teori analistis harus menjadikan bahasa sebagai rujukan ketimbang performatif. Bagi Searle, kalimat merupakan suatu sarana yang disengaja untuk digunakan agar orang dapat membawa para pendengar menuju arena yang tepat hingga bisa menerapkan aturan yang tepat dan mengenal maknanya. Kuncinya adalah mengembangkan suatu model tindakan yang komunikatif  yang mengakui kedudukan penulis maupun pembaca di dalam prose penafsiran.
2.      Sosiologi Pengetahuan
Suatu aspek penting dari hermeneutika adalah pengaruh dari warisan budaya dan wawasan dunia terhadap penafsiran. Sosiologi pengetahuan mengakui pengaruh dari nilai-nilai kemasyarakatan pada semua presepsi mengenai realitas.
3.      Struktur Paradigma
Isu utama adalah validitas dari teori-teori sosiologi dan filsafat ilmu terhadap ilmu-ilmu sosial. Namun kuncinya adalah menciptakan di dalam diri seseorang suatu sikap keterbukaan kepada kebenaran yang mengizinkan kita untuk menerima tantangan dari komunitas-komunitas penafsir yang lain karena kita mengetahui bahwa mungkin mereka tepat dan ini akan menghantar seseorang kembali kepada teks untuk menemukan kebenaran.
4.      Intensionalitas
G. E. M Anscombe membicarakan isu ini melalui pemikiran gurunya sendiri, Ludwig Wittgenstein, ia menggunakan pendekatan fenomenologis, berpendapat bahwa maksud merupakan suatu bentuk deskripsi yang menjawab pertanyaan, mengapa? Oleh karena itu, maksud terkait dengan pengetahuan praktis dan berurusan dengan tindakan. Artinya bahwa mereka menegaskan tindakan-tindakan ilokusioner memiliki maksud, jadi dalam penafsiran suatu teks, kita sedang menguak maksud dari penulis.
5.      Teori Probabilitas
Teori ini semakin mengemuka dalam pembahasan-pembahasan mengenai transfer makna dan klain-klaim kebenaran. Sebenarnya pada kesimpulan teori probabilitas adalah menujuk pada teori pengetahuan yang didasarkan pada pengertian dan rujukan akan membuat tujuan mendapatkan makna yang dimaksud atau yang asli dari karya menjadi mungkin tercapai, tergantung pada pertimbangan-pertimbangan generik seperti yang disampaikan sebelumnya.
6.      Realisme Kristis
Realisme didefinisikan sebagai keyakinan bahwa di dalam teks ada suatu yang real untuk ditemukan, dan pencarian tersebut harus ditentukan melalui riset yang kritis. Proses realisme kritis dapat dilihat sebagai serangkaian kriteria: kriteria koherensi (memberikan kecocokan yang lebih baik ketimbang hipotesis lain), kriteria komprehensif (menempatkan bersama semua data bukan hanya sebagian saja), kriteria kecukupan (memberikan suatu keserasian yang lebih antara dari data luar dan dari dalam teks), kriteria konsistensi (membentuk suatu pola yang dapat dilakukan dalam menyatukan data), kriteria ketahanan (memiliki kekuatan bertahan dan telah diakui oleh yang lain-lain), dan kriteria penyerbukan silang (diterima oleh lebih dari satu aliran pemikiran).  
Kebenaran Proposisional dan Logika Narasi
Dalam hal ini pembaca harus memperhatikan sumbangsih yang positif dari kritik redaksi, yang memperlihatkan kaitan antara dunia narasi dan pernyataan-pernyataan theologis yang dimaksud dari setiap penulis. Di mana penulis memproduksi teks dan memberikan teks tersebut makna-makna yang dimaksudkan untuk dipahami oleh pembaca. Teks itu kemudian menuntun pembaca dengan memproduksi jalan-jalan masuk tertentu yang mengarahkan pembaca kepada permainan bahasa yang tepat untuk menafsirkan tindakan ilokusioner yang khusus. Dengan cara tersebut, pembaca menempatkan dirinya pada dunia tekstual dan isi proposisional, sehingga memahami makna yang dimaksudkan oleh teks.
Pendekatan Lapangan pada Hermeneutika
            Beberapa pola untuk menambahkan praksis kepada teori yaitu:
1.      Suatu pembacaan yang teliti atas teks tidak dapat dilakukan tana adanya suatu perspektif yang disediakan oleh prapemahaman  seseorang seperti yang telah diidentifikasikan oleh prespektif sosiologi pengetahuan.
2.      Harus membedakan presuposisi dan prasangka.
3.      Harus mencarikendali-kendali yang memampukan kita bekerja dengan presuposisi-presuposisi (yang  posistif) ketimbang di dominasi oleh prasangka (yang negatif).
4.      Harus mengizinkan prinsip-prinsip hermeneutika yang baik membentuk eksegesis dan mengendalikan kecenderungan untuk memaksakan prasangka-prasangka ke dalam suatu teks.




VII.          KESIMPULAN

Buku “spiral hermeneutika” yang ditulis oleh Grant R. Osborne merupakan buku yang memberikan sumbangsi tentang cara melakukan hermeneutika yang benar dalam bidang studi theologis dan biblikal. Di mana dalam melakukan hermenutika ditemukan adanya spiral dari teks Alkitab kepada konteks masa kini. Heremeneutika berusaha menjawab segala pergumulan dari segala zaman termasuk masa kini. Hal ini dapat dilkukan dengan memahami atau berkomunikasi dengan teks Alkitab itu sendiri untuk menemukan maknanya dan menemukan signifikansinya terhadap masa kini. Ini adalah dasar filosofi bagi spiral dari teks menuju makna sebagai suatu kesatuan yang memperlihatkan spiral yang menuntun pemahama yang benar terhadap theologis dan biblikal. Sehingga melalui semua ini hermeneutika terapan dapat menghidupkan theologgi dan biblika.
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENCARI DAN MENJADI SEORANG SAHABAT Nats: 1 Samuel 18:1-4

ALLAH BEROTORITAS MENENTUKAN KEHIDUPAN MANUSIA