Mengenal Spiral Hermeneutika, Hermeneutika Terapan
Menulis garis besar Bagian Tiga
“Heremeneutika Terapan”
Jumlah halaman : 417-637 halaman
Judul
buku : Spiral Hermeneutika
Pengantar Komprehensif bagi Penafsiran Alkitab oleh Grant
R. Osborne (halaman 415-631).
Buku
“Spiral Hermeneutika: pengantar komprehensif bagi penafsiran Alkitab” ditulis
oleh Grant R. Osborne dan diterbitkan oleh Momentum pada tahun 2012 di Surabaya.
Tujuan penulisan buku ini adalah memberikan pemahaman tentang penafsiran
terhadap Alkitab yang memerlukan suatu spiral dari teks kepada konteks, dari
makna aslinya kepada kontekstualisasi atau signifikansi makna asli tersebut
bagi situasi sekarang ini. Sehingga perlu memanfaatkan hermeneutika untuk
memadukan penerapan sedekat mungkin kepada penafsiran dan untuk memastikan
bahwa penafsiran sejalan dengan makna asli dari teks.
Untuk
lebih mudah memahami buku tersebut dituliskan outline berdasarkan tugas dari
mata kuliah “Teologi Hermeneutika di Asia” khususnya pada “bagian 3
Hermeneutika Terapan-Apendiks.” Dalam menulis tugas ini, outline ditulis
berdasarkan judul dan sub judul buku, guna mendapat penjelasan yang lebih mudah
dimengerti khusunya bagi penulis outline sendiri. Demikianlah ditulis outline
dibawah ini berdasarkan judul dan sub judul buku.
I.
THEOLOGI
BIBLIKA
Pada bagian tiga
“Hermeneutika Terapan” dimulai dengan penjelasan theologi biblika, di mana penulisan
bermaksud mulai begeser dari teks (makna) menuju pada konteks masa kini.
Theologi biblika membentuk langkah
pertama dari eksegese atas perikop individual dan menuju pada pelukisan signifikasi
bagi gereja hari ini. Terdapat tiga langkah yang menyatukan perikop dan cara
yang dilacak melalui kitab sebagai suatu keseluruhan yaitu: pertama, mempelajari tema-tema theologis
dalam kitab/surat secara individual. Kedua,
meneliti theologi dari sang penulis. Ketiga,
melacak gerak maju dari pewahyuan yang menyatukan perjanjian dan bahkan
Alkitab sebagai suatu keutuhan. Sehingga tugas dari theologi biblika adalah
mencari keterpaduan tematis menyeluruh dibalik perikop-perikop individual,
misalnya keselamatan, kovenan, anugerah. Dan melakukan eksegese sebagai dasar
dari theologi biblika berkenaan dengan konteks dekat. Menemukan makna dari
struktur lahir dari individual.
Sehingga dapat diuraikan bahwa Theologi biblika
merupakan:
a. Cabang
dari penyelidikan theologis yang berkenaan dengan pelacakan tema-tema melalui
bagian-bagian yang beragam dari Alkitab (seperti tulisan-tulisan hikmat atau
epistel-epistel dari Paulus) dan kemudian mencari tema-tema untuk menyatukan
yang menghimpun Alkitab menjadi satu.
b. I.
Howard Marshall mengatakan tujuan theologi biblika adalah untuk menjelajahi
perkembangan pemahaman para penulis Perjanjian Baru mengenai Allah dan dunia,
lebih khusus lagi dunia dari manusia dan hubungan mereka satu sama lain.
c. Stephen
Motyer menjelaskan sebagai displin
teologis yang kreatif, sarana tempat gereja berusaha untuk mendengarkan suara
yang terpadu dari keseluruhan Alkitab yang ditujukan kepada kita sekarang.
d. Theologi
biblika menjadi jembatan kepada theologi sistematik karena theologi biblika
juga dimaksudkan bagi kebutuhan konfesional bagi gereja.
e. Tujuan
dari theologi biblika adalah untuk menggambarkan makna theologis di balik teks dengan tujuan menyediakan suatu
dasar bagi kebutuhan-kebutuhan kontemporer dari gereja.
Relasi
dengan Displin-Displin Ilmu yang Lain
(Theologi
biblika dalam hubungannya dengan displin ilmu yang lain).
1. Theologi Biblika dan eksegese : artinya
bahwa theologi biblika menyediakan kategori-kategori dari kesatuan kitab yang
menyeluruh dibalik penafsiran seseorang atas perikop individual, sementara
eksegese menyediakan data yang kemudian dibentuk menjadi suatu theologi
biblika. Dengan kata lain keduanya saling
bergantung.
2. Theologi biblika dan theologi
historis: artinya bahwa theologi historis secara teknis
berada di antara theologi biblika dan theologi sistematik. Theologi historis
mempelajari cara paradigma komunitas-komunitas yang lebih kemudian memahami
doktrin-doktrin Alkitab dan memampukan kita memahami perdebatan theologis masa
kini dengan lebih baik dengan menempatkan mereka secara dogma. Pada saat yang
sama theologi historis menyediakan suatu jalan keluar dari ketegangan antara
theologi biblika dan theologi sistematik.
3. Theologi Biblika dan Theologi
Sistematik : artinya theologi Alkitab bersifat
deskriptif, melacak penekanan-penekanan individual dari para penulis Kitab Suci
dan kemudian mengumpulkan penekanan-penekanan itu ke dalam thema besar utama
yang menyatukan kedua perjanjian. Theologi sistematik menjadi tahap pengantara
dari jembatan antara apa makna aslinya (pekerjaan eksegesis dan theologi
biblika), apa maknanya pada masa kini (pekerjaan thelogi sistematik) dan
bagaimana penerapannya (pekerjaan theologi homeletik).
4. Theologi biblika dan theologi
homilitik : artinya sebagaimana diungkapkan oleh P. J. H.
Adams mengatakan bahwa “theologi biblika menuntut adanya seorang pengkhotbah.”
Tidak ada lingkaran hermeneutika tunggal tetapi lebih merupakan suatu spiral
yang saling berhubungan dari ranah-ranah dialog. Tujuannya adalah untuk
mengizinkan apa yang dulu teks itu maksudkan sekarang berbicara secara baru
kepada gereja.
Wilayah-Wilayah Masalah
Khusus
1. Kesatuan dan Keberagaman:
artinya bahwa memang ada keberagaman yang besar antara kitab-kitab dalam
Alkitab. Genre dan tujuan yang berbeda berasal dari sejumlah besar situasi dan
masalah yang dihadapi oleh Israel dan gereja mula-mula. Namun kita jangan
mengasumsikan kesatuan atau keberagaman tanpa memperhatikan faktor-faktor
seperti latar belakang, medan makna, pengaruh komunitas atau perkembangan
sosiologis dari Israel dan geraja.
2. Sejarah tradisi:
artinya bahwa seorang theolog Alkitab harus menyadari proses pentradisian di
Israel dan gereja awal, namun ini hanya satu faktor dari sekian banyak senjata
eksegesis dan bukan komponen kunci dalam pembentukkan sejarah dogma di dalam
periode Alkitab.
3. Theologi dan Kanon: artinya
kanon menuntut adanya perspektif tentang kesatuan dari kitab suci yang tidak
mengizinkan komunitas ataupun pakar Alkitab menjadi lebih berkuasa melebihi
teks kanonis itu sendiri.
4. Analogia fidei dan pewahyuan
progresif: artinya bahwa analogi tentang iman atau lebih
tepatnya prinsip tentang Kitab Suci menjelaskan Kitab Suci merupakan suatu
konsep kunci dalam menjelaskan tentang makna theologis. Sehigga analogia
scriptura merupakan kunci menuju suatu theologi Alkitab yang tepat dan unsur
yang penting dalam pendekatan kanonis.
5. Otoritas:
artinya bahwa ilmu hermeneutika memampukan kita merunut kembali maknanya dari
preposisi yang asli, dan theologi biblika merupakan bagian dari proses itu
sebagai sarana kita mengizinkan berita yang otoritatif itu berbicara kepada
kita pada masa kini.
6. Sejarah dan theologi:
artinya sejarah dan theologi bukanlah antitesis, dan siswa harus mencari suatu
sejarah yang disisi secara historis takkala keduanya menarik teks masa lalu dan
gereja masa kini ke dalam dialog dan kedekatan.
7. Bahasa teks dan makna:
artinya bahasa mengandung metafora mati (statis) dan hidup (dinamis), maka
Alkitab dapat menjadi kebenaran preposisi (statis) dan bahasa peristiwa
(dinamis). Sehingga theologi biblika menjadi elemen penting di dalam interaksi
di antara Allah dan dunia ini.
8. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru:
artinya tidak mungkin memisahkan kedua perjanjian , theologi biblika yang benar
harus memulai dengan pengakuan tentang adanya kesatuan dan menampilkannya.
Menuju
Suatu Metodologi
Adapaun
beberapa metode yang digunakan mengembangkan theologi Alkitab yaitu:
1. Metode sintesis:
artinya tema-tema theologis dilacak melalui sastra Alkitab dalam hubungaan
dengan berbagai periode historis. Kekuatan dari metode sintesis terletak pada
penekanannya atas kesatuan dari Kitab Suci. Namun kelemahannya adalah
kategori-kategori dapat dengan mudah dipaksakan dari luar theologi ketimbang
muncul secara alami dari dalam teks.
2. Metode analistis:
artinya mempelajari penekanan-penekanan theologis yang berbeda dari
masing-masing kitab dan perkembangan tradisi-tradisi agar memahami berita yang
unik dari tiap kitab. Kelemahannya adalah mengumpulkan masing-masing theologi
tanpa adanya kohesi, di mana perhatiannya hanya pada asal usul yang bersifat
silsilah ketimbang pada iman yang hidup yang menghasilkan dokumen-dokumen.
3. Metode sejarah agama:
artinya metode ini menjelaskan perkembangan ide-ide religius di dalam kehidupan
Israel dan gereja mula-mula. Metode ini berpusat pada sejarah sementara
pendekatan analistis berpusat pada theologi. Kelemahannya adalah ketika metode
itu melenceng keluar kerangka Alkitab dan mencari suatu revisi data yang spekulatif,
metode ini menjadi terlalu subjektif untuk dimanfaatkan.
4. Metode-metode diakronis:
artinya sebagaimana diungkapkan oleh Von Rad bahwa sejarah tradisi memberikan
suatu kunci yang positif menuju pada potret teks Alkitab yang kerigmatis;
pengembangan pengakuan iman dari komunitas memiliki relevansi theologis yang
besar ketimbang suatu sejarah yang direkronstruksi dari komunitas itu.
5. Metode Kristologis:
artinya metode ini memiliki beberapa kelebihan, adanya kecenderungan semangat
mensejarahkan yang berlebihan diantara banyak theolog Alkitab dan mengakui
sentralitas dari iman Kristen: bagi orang Kristen keseluruhan, Alkitab memang
menunjuk kepada Yesus Kristus. Kelemahannya adalah hampir semua praktisii
mengalegorikan dan merohanikan teks-teks Perjanjian Lama untuk menyesuaikannya
dengan banyangan Kristus yang telah dibentuk sebelumnya atau hal-hal seperti
itu.
6. Metode konfesional:artinya
para praktisi dari metode konfesional menganggap Alkitab merupakan serangkaian
pernyataan iman yang menuntut ketaatan dan dengan demikian melampaui sejarah.
Kelebihannya adalah pengakuannya atas sentralitas dari kredo dan penyembahan di
dalam iman Alkitab. Kelemhannya adalah memaksakan makna lebih banyak ke dalam
Perjanjian Lama ketimbang apa adanya dan cenderung memaksakan kategori-kategori
theologis pada pernyataan Alkitab di dalam kedua perjanjian.
7. Metode narasi:
artinya melacak perkembangan ide-ide theologis di dalam satu kitab ketimbang
menata tema-temanya secara topikal di dalam karya tersebut. Sehingga
kelebihannya adalah memuaskan komponen historis dari theologi biblika. Kelemahannya
adalah metode ini seringkali dapat merosot menjadi suatu survei yang berlebihan atas isi dari
kitab tersebut.
8. Metode multipleks:
artinya upaya membangun theologi biblika dengan lima kriteria yaitu; pertama, datanya harus mencerminkan
theologi. Kedua, memanfaatkan bentuk
final kanonis dari dokumen. Ketiga, karyabilika
yang individua dan kemudian menjelaskan tema yang menyatukan theologi biblika. Keempat, tujuannya adalah melacak yang
menyatukan kesatuan dinamis. Kelima, mengintegrasikan
kedua perjanjian, dengan menyebut keberagaman maupun kesatuan di antara
keduanya.
9. Masalah pusat yang menyatukan:
artinya masalah ini terletak pada kesatuan dari keberagaman tema theologi
Alkitab.Namun hal yang terpenting adalah tema-tema yang menyatukan harus
ditarik dari keluar teks ketimbang dari imajinasi seorang theolog dan harus
benar-benar merangkum sub-sub thema lainnya dari kitab suci.
II.
THEOLOGI
SISTEMATIK
Theologi sistematik
patut disebut sebagai ratunya ilmu Alkitab, di mana theologis sistematik
merupakan sasaran yang tepat dari studi dan ajaran Alkitab. Tujuan dari bab ini
adalah menyediakan suatu metodologi untuk mempertimbangkan dan memutuskan di
antara sejumlah pilihan dan untuk membahas isu-isu serius yang terlalu sering
diabaikan oleh para theolog.
Komponen-Komponen
Dari Bangunan Theologis
Ada
pun komponen-komponen dari bangunan theologis yang dapat menjelaskan
kebenaran-kebenaran ilahi yang diwahyukan pada zaman kita yaitu:
1. Kitab Suci:
artinya faktor penentu yang pertama adalah pandangan seseorang mengenai
otoritas Alkitab. Alkitab diinspirasikan, Firman Allah dinyatakan, menerimanya
sebagai otoritas final dari semua penyataan doktrinal. Bagi para ahli, Kitab
Suci merupakan suatu kesaksian yang berharga mengenai kuasa Allah di dalam
kehidupan komunitas namun bukan otoritas final bagi formulasi theologis. Kitab
Suci menuntut menjadi dasar bagi keyakinan dan praktik. Pada akhirnya Alkitab
menjadi penentu dasar dan final bagi semua perkembangan doktrinal.
2. Tradisi:
tradisi memiliki dampak yang positif dan negatif atas bangunan theologis.
Secara negatif, tradisi seringkali lebih mempengaruhi pembentukan
keyakinan-keyakinan kita ketimbang Kitab Suci dan dengan demikian dapat menjadi
penghalang untuk menemukan kebenaran. Secara positif, tradisi menuntun dan
menerangi tugas kita pada setiap langkah dan merupakan suatu penolong yang
diperlukan menuju pemahaman.
3. Komunitas:
artinya dalam satu pengertian komunitas orang beriman merupakan bagian dari
proses pentradisian. Pada pihak lain komunitas orang beriman menjadi topik
terpisah karena komunitas menerapkan kendali atas tradisi dan menilai kembali
data sejarah untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya. Pada akhirnya komunitas
menuntun pengalimatan dan penyusunan atas kontruksi-kontruksi theologis dari
individu dan juga seluruh sistem, dengan itu mengontekstualisasi ulang
formulasi-formulasi tradisional bagi dunia modern.
4. Pengalaman: artinya
pengalaman-pengalaman seseorang ditafsirkan berdasarkan pengajarann-pngajaran
komunitas; keduanya sangat dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan tradisional;
dan semuanya itu dijelaskan oleh Firman Allah.
5. Filsafat:
artinya seorang theolog haruslah sungguh-sungguh menjadi seorang manusia
pencerahan, karena harus mengeksegesis Kitab Suci, membentuk tema-tema
theologis melalui theologi Alkitab, menyadari perkembangan dogma sepanjang
sejarah gereja, kemudian mengontekstualisasi semua itu bagi situasi modern; dan
pemikiran filosofis memainkan peranan penting pada setiap tahap. Pada akhirnya Kitab Suci memiliki suara yang
normatif, dan filsafat menjadi suatu pelengkap bagi theologi dalam membantu
theologi memformulasikan ulang kebenaran-kebenaran Alkitab secara rasional dan
koheren untuk berbicara pada situasi terkini. Theologi dan filsafat bukan rekan
yang setingkat, karena theologi mengandung kebenaran yang tinggi, namun
filsafat memaksa seorang theolog menjadi logis dan terbuka bagi pengungkapan
atau penjelasan yang baru mengenai kebenaran-kebenara yang kekal tersebut.
Isu-Isu
Dalam Bangunan Theologis
1. Inspirasi/pewahyuan:
artinya isu mengenai inspirasi harus ditetapkan sebelum kita boleh mulai
membentuk suatu theologi sistematik. Jika seorang theolog menerima pandangan
tradisional mengenai, bahwa Allah telah menyingkapkan diri-Nya dalam Kitab
Suci, Alkitab akan menyediakan bahan tempat doktrin didasarkan dan
komponen-komponen lain (tradisi, komunitas, pengalaman) akan dimanfaatkan untuk
melukiskan ulang kebenaran Alkitab bagi situasi modern.
2. Masalah mengenai metafora:
artinya metafora mengkomunikasikan diri mereka sendiri secara tidak langsung
namun janganlah dikontraskan secara berlebihan dengan bahasa harafiah,
seolah-olah suatu hubungan yang tidak langsung kepada realitas (metafora)
kurang bermakna ketimbang suatu hubungan yang langsung kepada realitas
(harafiah).
3. Model-model Theologis: artinya suatu
penggambaran yang lebih permanen dan menyeluruh sehingga menjadi suatu pola
bagi keyakinan. Model ini juga menjadi sarana heuristik yang digunakan untuk
menyusun dan menata ide-ide yang terkait. Setiap model mewakili cara posisi
menata dan mengonseptualisasi data-data Alkitab atas dasar tradisi, komunitas
dan pengalaman.
4. Kesementaraan dan otoritas dari
penyataan-penyataan theologis: artinya dalam setiap
konstruksi theologis, ada suatu ketegangan alami antara natur kesementaraan
dari semua konseptualisasi dan otritas final yang dimiliki dalam struktur
keyakinan seseorang dan di dalam komunitas. Faktanya, ketegangan di antara
kesementaraan dan otoritas merupakan komponen yang diperlukan dari setiap
theologi sistematik. Proses-proses verifikasi dan komunitas itu sendiri memberi
komunitas kepada model theologis seiring model itu menempuh ujian waktu dan
menjawab tantangan-tantangan dari pihak-pihak yang bersaing.
5. Theologi sebagai kontekstualisasi:
artinnya theologi sistematik merupakan suatu kontekstualisasi dari theologi
Alkitab, yang disaring melalui sejarah dogma namun dikontekstualisasi kembali
untuk situasi modern dan disusun serta diekspresikan di dalam pola-pola
pemikiran yang sedang berlaku.
6. Verifikasi validasi dari penegasan-penegasan
theologis: artinya mengukur kesementaraan dan otoritas dari
bangunan theologi dengan melakukan metode verifikasi yaitu realisme kritis. Ada
enam langkah melakukan validasi terhadap suatu bangunan theologis yaitu: pertama bangunan tersebut sesuai dengan
data Alkitab. Kedua, penegasan
dogmatis memiliki satu model yang tepat dari bahan Alkitab yang menyeluruh. Ketiga, formulasi memberikan suatu
gambaran yang lebih baik mengenai doktrin
ketimbang gambaran dari pihak yang bersaing. Keempat, sistem yang saling
bersesuaian dan membentuk suatu pola yang layak. Kelima, kriteria mengenai kesinambungan atau ketahanan,
mempermasalahkan. Keenam, banyak
aliran pemikiran telah menerima kelaikan dari penegasan (kriteria kawin
silang).
7. Politik dari pengambilan keputusan
Theologis: artinya tidak dapat mengabaikan
dampak-dampak politis bila
keputusan-keputusan theologis sudah dibuat. Perhatian utama kita adalah menjaga
kebenaran Alkitab dan memelihara “harta yang indah, yang telah dipercayakan”
kepada kita (2 Tim. 1:14).
8. Pergeseran Postmodern:
artinya pergesaran postmodern secara tepat berpusat pada komunitas, namun dalam
mengganti cara pikir yang logis dengan komunitas yang menafsir sebagai acuan
dari kebenaran theologis, sudah merupakan langkah yan terlalu jauh. Kebenaran
thelogis berpusat pada Alkitab, bukan berpusat pada komunitas, dan tidaklah
bebas bergantung pada komunitas tempat
anda bergabung.
9. Metode theologis dan theologi
sistematik: artinya respon yang tepat bagi suatu
masyarakat postmodern adalah mengalami Allah di dalam suatu cara yang baru
dengan menghidupi teks-teks Alkitab dan mengalaminya sebagai ucapan tindakan
komunikasi Allah. Di mana norma yang sejati adalah drama dari Firman Allah yang
diperankan dalam kehidupan kita, pergeseran kanonik linguistik yang di dalamnya
pemahaman yang dicari iman yang bersifat dramatik ketika kovenan
mempengaruhikomunitas. Dan doktrin harus dipahami kemudian disintesiskan ke
dalam suatu susunan logis dan akhirnya dihidupi di dalam kehidupan sehari-hari.
Prinsip-Prinsip
Hermeneutika
Prinsip-prinsip
hermeneutika secara berurutan:
1. Secara
sadar bangun kembali prapemahaman. Hati-hati menjelaskan di mana kita dan tradisi
kita berpijak pada doktrin dan menempakan semuanya dihadapan Alkitab akan
membebaskan kita menggunakan prapemahaman kita secara positif.
2. Secara
induktif mengumpulkan semua perikop yang
berkaitan dengan isu tersebut.
3. Mengeksegese
semua perikop di dalam konteks masing-masing
4. Susunlah
perikop-perikop tersebut ke dalam suatu teologi Alkitab.
5. Lacaklah
perkembangan kontekstualisasi dari doktrin itu melalui sejarah gereja
6. Pelajari
model-model yang bersaing dari doktrin tersebut.
7. Reformulasikan
dan rekontekstualisasikan model tradisional itu bagi budaya kontemporer. (Isi
dari doktrin di dasarkan pada ajaran Alkitab tidak boleh dilanggar, namun
pengungkapan dan gambaran ulangnya berubah seiring perubahan proses pemikiran
dari suatu budaya).
8. Setelah
doktrin-doktrin individual telah diformulasikan kembali, mulailah menyusun
doktrin-doktrin itu dan mengerjakan kembali model-model yang sistematis itu.
III.
HOMILITIKA
I KONTEKSTUALISASI
Osborne mengatakan
bahwa belajar kitab suci tidak akan pernah lengkap sampai seseorang beralih
dari teks ke konteks. Kitab Suci tidak boleh sekedar dipelajari; Kitab Suci
harus diyakini dan kemudian diberitakan. Aspek dinamis dari Firman ini
merupakan tugas dari kontekstualisasi dan analisis homiletis. Ini adalah tugas
pengkhotbah yaitu memastikan agar Firman berbicara pada hari ini sejelas pada
zaman dahulu. Kegagalan terutama karena para ahli homeletika telah gagal
menyediakan dasar hermeneutika untuk penerapan.
Peneramapan di dalam kontekstuaisasi, yaitu proses dinamis yang menafsir signifikansi dari suatu
agama atau norma budaya bagi satu kelompok dengan warisan budaya yang berbeda.
1. Contoh-Contoh
dalam Alkitab
Isu kuncinya adalah
relevansi; prinsip-prinsip religius secara terus-menerus harus disesuaikan
untuk menghadapi tantangan-tantangan baru dari budaya. Contohnya adalah:
a. Taurat
yang dikembangkakan bagi Israel pada masa periode pengembaraan dan penaklukan,
tidaklah bisa langsung diterapkan pada budaya kosmolitan dari periode
Greko-Romawi. Oleh karena itu orang Yahudi mengembangkan suatu taurat lisan
untuk mengontekstualisasikan hukum-hukum bagi situasi yang baru.
b. Philo,
misalnya paling dikenal sebagai orang yang telah mengontekstualisasikan
Yudaisme bagi gaya hidup Yunani.
c. Terjadi
akulturasi pergerakan gereja dari suatu sekte Yahudi menuju agama universal
bagi semua bangsa.
2. Isu-isu
yang Sedang Beredar
Debat
misiologi yang terkini berpusat pada pengontekstualisasian yang ‘dinamis
ekuivalen,’ berupaya menjadikan Injil dan theologi Kristen penuh makna dan
mengena di dalam beragam budaya dan dunia yang modern. Sebagaimana maksud dari
aliran dinamis ekuivalen bahwa kita harus melampaui theologis cara Barat dan
menuju kepada teks. Tentu saja, ini bukan berarti bahwa gereja-gereja Barat
berhak memaksakan ‘bentuk-bentuk’ mereka pada gereja-gereja dunia ketiga.
Misalnya orang Kristen Afrika harus menciptakan suatu theologi yang asli
mengungkapkan kembali isi Alkitab yang normatif di dalam simbol-simbol dogmatis
yang mengkomunikasikan kebenaran-kebenaran Alkitab kepada budaya mereka
sendiri. Dalam hal ini terbentuk spriral hermeneutika yaitu teks sendiri
menetapkan agenda dan secara terus menerus membentuk pertanyaan-pertanyan
pengamat kepada teks tersebut. Kemudian biarlah Kitab Suci menantang dan
kemudian mentransformasikan budaya penerima, akan tetapi dalam suatu arah yang
lebih emik ketimbang yang etik. Pengamat atau pemberita harus
mengkontekstualisasikan diri sendiri untuk mengenali ‘teks’ dan juga
mengkontekstualisasikan diri sendiri kepada ‘budaya penerima’. Sehingga
disnilah model ekuivalen dinamis harus diulang, sehingga pengkhotbah/penerjemah
siap memberitakan Firman Allah.
3. Norma-Norma
Kultural dan Suprakultural dalam Kitab Suci
Kesulitan utama dalam
mengontekstualisasikan Kitab Suci adalah menentukan secara tepat manakah
unsur-unsur yang terikat budaya atau waktu dalam suatu perikop dan manakah
prinsip-prinsip yang suprakultural atau kekal. Oleh karena itu, kebutuhan
utamanya adalah aturan-aturan hermeneutika yang akan membantu penafsir dalam
memilah mana yang terlihat budaya dari yang suprakultural dalam satu perikop.
4. Model
Hermeneutika
Osborne
mengajukan model hermeneutika untuk kontekstualisasi Alkitab, dengan tujuan
menyediakan serangkaian aturan utama
untuk membedakan bagian yang memiliki implikasi kekal dengan penerapan budaya
di dalam seluruh Kitab Suci. Ada 3 langkah dasar di dalam proses menentukan
apakah suatu perintah khusus itu normatif atau kultural, apakah perintah itu
berlaku pada tingkat lahir atau batin (bersifat prinsip) yaitu:
a. Kita
memperhatikan sejauh mana indikator-indikator suprakultural itu dijumpai dalam
perikop tersebut.
b. Kita
harus menentukan tingkatan tempat perintah-perintah itu terikat pada
praktik-praktik budaya yang berlaku dalam abad pertama namun tidak ada lagi
sekarang.
c. Kita
harus memperhatikan jarak antara indikator suprakultural dan indikator
kultural.
5. Prisnsip-Prinsip
untuk memastikan Kandungan Suprakultural
Adapun
prinsip-prinsip untuk memastikan kandungan supranatural yaitu:
a. Cobalah
tentukan sejauh mana prinsip theologis yang mendasari mendominasi penerapan
dari pernyataan lahir. Misalnya, perintah untuk menyapa ‘dengan ciuman kudus’
di dasarkan pada prinsip kasih yang mutual, kita dapat menerapkannya lagi hari
ini, saling menyapa dengan kasih dan komitmen Kristen, tetapi tidak harus degan
suatu ‘ciuman kudus’.
b. Perhatikan
kapan penulis bergantung pada pengajaran tradisional atau pada sisi lain
menerapkan suatu penerapan sementara kepada suatu masalah kultural yang khusus.
Ini sangat menolong untuk mengenali kapan penulis itu meminjam dari pengajaran
yang lebih awal.
c. Pengajarannya
melampaui prasangka kultural dari penulis dan para pembaca, pengajaran dari
perikop tersebut lebih mungkin bersifat normatif.
d. Jika
perintah itu secara menyeluruh terikat kepada satu situasi kultural, perintah
itu sendiri bukanlah abadi. Cherly Guth mengusulkan utuk menguuji hal tersebut
yaitu: pertama, apakah bahasa penulis
mengandung petunjuk-petunjuk kultural yang mengarahkan seseorang untuk mencari norma ilahi dibalik penerapan
sementara? Kedua, apakah perintah itu
menunjuk kepada suatu kebiasaan lokal atau institusi kultural. Ketiga, apakah penulis hanya berbicara
kepada suatu situasi atau masalah budaya yang khusu? Keempat, Akankah perintah itu menjadi isu hari ini jika hal itu
dulu tidak disebutkan dalam kitab suci?
e. Perintah-perntah
yang bersifat moral atau theologis akan terikat erat pada kehendak ilahi.
6. Metode
untuk Kontekstualisasi
Kunci
menuju kotekstualisasi adalah mengupayakan adanya suatu peleburan yang sejati
antara cakrawala-cakrawala dari teks Alkitab dan cakrawala dari situasi modern.
Namun seorang penafsir harus mencari suatu kaitan yang signifikan antara
konteks asli dan konteks penerima sebelum kontekstualisasi yang sejati dapat
diwujudkan. Di mana jika tugas yang tepat dari penerjemahan dan eksegesis
adalah menanyakan apa yang akan dilakukan penulis asli (yaitu, kebenara yang
dipaparkan di dalam perikop) jika ia berbicara kepada pendengar saya, tugas
kontekstualisasi adalah untuk menentukan ‘apa yang diminta para pendengar asli
(apa yang penulis minta mereka lakukan) dapat dialami kembali oleh pendengar.’
7. Mengembangkan
Budaya Gereja yang Telah di Transformasikan
Menyedihkan
sekali jika banyak gereja mulai menyerupai dunia di sekitar mereka dan menjadi
sekadar suatu hiburan lain, suatu klub seperti Rotary International atau Lions
Club International. Satu bagian penting mengkontekstualisasikan injil adalah
mengkontekstualisasikan etos dari Injil itu dalam gereja-gereja lokal. Jadi
sebagai seorang theolog harus menolong dari hal-hal yang berbahaya di dalam
gereja dengan mempertahankan kesentralan Kristus. Sebelumya harus mengenali
budaya dibalik gereja kita lebih dulu. Namun kuncinya adalah suatu semangat
yang inovatif yang dituntun leh Roh Kudus.
IV.
HOMILETIKA
II: KHOTBAH
Studi
ini tidak lengkap tanpa kontekstualisasi dan homelitika. Khotbah merupakan
mekanisme jembatan yang menyatukan dunia kuno dari teks Alkitab dengan dunia
modern dari jemaat. Kontekstualisasi merupakan semen yang mengikat dua dunia
menjadi satu, di mana pengkhotbah berupaya membantu jemaat untuk memahami
relevansi dari teks bagi kehidupan. Sebab perlu hati-hati terhadap gereja yang
mulai mencerminkan masyarakat, dengan kata lain menjadi gereja sekuler. Oleh
sebab itu sebagai komunikator/ pengkhotbah hendaknya membangun suatu dialog
yang membangun jemaat memahami signifikansi yang benar dari Firman Allah.
1. Tempat
Roh Kudus
Setiap
strategi ataupun prinsip bukan hanya diatur oleh prosedur-prosedur ilmu
hermeneutika atau seni pengalaman pastoral, tetapi oleh penaungan rohani dari
Roh Kudus. Sebab hanya Roh Kudus yang dapat menguatkan pengkhotbah agar pesanna
dijelaskan bukan dengan ‘kata-kata yang meyakinkan’ dari hikmat manusia tetapi
lebih memperlihatkan Roh Kudus dan kuasa Allah (1 Kor. 2:4-5). Roh itu
mengurapi ucapan-ucapan seorang pengkhotbah. Namun sarana-sarana hermeneutika
semuanya menyediakan keuntungan bagi kehendak Roh dalam tindakan
penafsiran dan memanfaatkan kapasitas
rasional kita untuk menarik kesimpulan-kesimpulan dari data yang ada.
2. Suatu
Pengalaman Perenungan
Osborne
menyatakan bahwa firman Allah menuntut kesetiaan dan ketaatan kita sebelum Ia
meminta kita melayani sesama. Sehingga haruslah ada suatu pengalaman
perenungan. Terdapat 3 alasan pengalaman
perenungan yaitu:
a. Firman
Allah itu sendiri menuntut hidup kita diubah sebelum mengambil bagia dalam
misi.
b. Kita
tidak boleh meminta seseorang melakukan apa yang kita sendiri enggan
melakukannya.
c. Ketika
hidup kita telah disentuh oleh pesan yang kita beritakan, pesan itu akan
dikhotbahkan dengan suatu gairah dan urgensi yang tidak akan sedemikian jika
kita belum disentuh secara pribadi.
3.
Theologi Khotbah yang Alkitabiah
Paulus
mengatakan bahwa Allah secara khusus menggunakan pemberitaan sebagai bagian
dari rencana penyelamatan-Nya dan mengutus para pemberita sebagai wakil-Nya
yang resmi. Oleh karena itu dunia dijangkau melalui pemberitaan
kebenaran-kebenaran Injil. Theologi dianggap menjadi penengah antara eksegesis
dan khotbah, dan melalui khotbah, theologi diwujudkan di dalam kehidupan
orang-orang dengan cara membangun dialog dengan mereka. Pada waktu yang sama
khotbah menghidupkan theologi dan memberikan kepadanya sifat kerygmatis.
4. Dari
Teks ke Khotbah
Osborne
menuliskan empat langkah perkembangan yang tepat dalam pembuatan khotbah:
a. Penafsir
harus mempelajari situasi asli dibalik pesan dari teks.
b. Penafsir
harus menentukan prinsip theologis yang mendasari di balik teks itu.
c. Murid
firman garus merenungkan kebenaran-kebenaran Alkitab dan theologis yang
dipelajari.
d. Pembaca
berusaha mengerti kesejajaran antara situasi asli yang dibicarakan oleh penulis
suci dan pengalaman-pengalaman kontemporer dari orang Kristen dan gereja.
5.
Prinsip-Prinsip untuk Menentukan
Penerapan
Pertanyaan
dasar kita adalah, jika Paulus (Yeremia, dll.) sedang mmberitakan prinsip ini
kepada jemaat kita, isu apakah yang akan ia bicarakan? Artinya bahwa pokok yang
asli dari perikop itu diungkapkan kembali dalam bentuk-benttuk pemikiran budaya
penerima, entah budaya kita ataupun budaya lain. Terdapat tiga tahap menentukan
makna dan signifikansi aktual dari suatu teks yaitu:
a. Tahap
pertama, harus merekapitulasikan langkah-langkah untuk pengontekstualisasian
dan menerapkannya pada penerapan dalam khotbah.
b. Tahap
kedua, ketika beralih dari teks menuju konteks adalah melukiskan prinsip
teologis yang mendasar.
c. Tahap
ketiga, mencakup suatu pencarian atas stuasi-situasi yang sejajar di dalam
kehidupan jemaat sekarang.
6. Metode-Metode
Praktis untuk Menerapkan Suatu Teks
Ada
tiga tipe penerapan dan baik digunakan sebagai daftar kendali untuk memastikan
sejumlah teknik di dalam khotbah-khotbah kita (Broadus) yaitu:
a. Berfokus pada klain kebenaran:
menjaga keseimbangan antara yang langsung dan terselubung.
b. Mengusulkan cara-cara dan sarana-sarana: menolong
pendengar untuk berpartisipasi dalam proses penerapannya. Tipe penerapan bisa
dalam bentuk: ilustrasi-ilustrasi, pilihan ganda, dan narasi.
c. Persuasi dan motivasi:
persuasi dan motivasi harus bergantung penuh kepada Roh Kudus yang mengubah
kehidupan dan mencari hikmat sebagai saluran bagi Roh melakukan tugas-Nya.
Kesimpulan bagian
Homeletika II Khotbah ini adalah tugas hermeneutika adalah mencari makna teks,
kemudian penafsir menanyakan sampai sejauh mana pesannya menentukan bagi dunia,
selanjutnya pengontekstualisasian, dan mempersiapkan khotbah. Cara mempersiapkan khotbah adalah
mengembangkan suatu pernyataan tesis (yang bersifat dalil), membuat garis besar
khotbah, memohonkan kepada Allah untuk memberi kepenuhan, menyiapkan
pendahuluan dan kesimpulannya.
V.
APENDIKS
I: MASALAH MAKNA: ISU-ISUNYA
Proses penemuan makna
dari suatu ucapan yang tertulis memiliki tiga fokus: penulis-teks-pembaca.
Masalah
Pembaca dan Teks
1.
Hermenutika
yang berpusat pada penulis
Misalnya
Friedrich Schleiermacher yang menjadikan penulis sebagai pusat sebagai pusat
dari proses hermeneutika lebih dari teksnya melampaui batas-batas yang
memungkinkan dari teori hermeneutika. Ini adalah kesalaha karena telah melakuka
reduksionisme, yaitu menyederhanakan suatu proses pemahama yang rumit menjadi
studi psikologis atas diri penulis.
2.
Pergerakan
menjauh dari teks-penulis: Gadamer
Gadamer
beranjak beranjak dari penulis dan teks menuju perpaduan dari teks dan pembaca,
yang lebih berakar pada masa kini ketimbang pada masa lalu. Memahami bukanlah
terutama berarti membawa pemikiran seseorang kembali kepada masa lalu, tetapi
suatu keterlibatan masa kini di dalam apa yang dikatakan.
3.
Strukturalisme
Bagi
kaum strukturalis orang tidak boleh memanfaatkan pendekatan diakronis kepada
teks untuk menjelaskan apa yang dulu dimaksud di masa lalu tetapi harus memakai
suatu pendekatan sinkronis untuk menguraikan apa yang dimaksud di masa
kini.
4.
Poststrukturalisme
Poststrukturalisme
bereaksi melawan asumsi kaum strukturalis bahwa sandi-sandi linguistik
memberikan suatu garis langsung menuju makna dari suatu bahasa atau teks. Dan proses
yang aktual dan hasil penafsirannya ditentukan oleh sang pembaca bukan oleh
kitabnya.
5.
Kritik
respons-pembaca
Kritik
respon-pembaca merupakan puncak dari gerakan yang menjauhi penulis/teksdan
mendekati pembaca. Kritik respon-pembaca melampaui kaum poststrukturalis dengan
tidak hanya mengajukan otonomi dari teks tetapi perpaduan yang nyata antara
teks dan pembaca pada momen respon. Tindakan ini lebih berpusat pada pembaca
ketimbang teks. Teks adalah objek hanya dalam pengertian secara fisik karena
makna hanya ada di benak pembaca. Dengan kata lain, teks menghilang dan pembaca
menciptakan makna.
6.
Dekonstruksi
Dekonstruksi
berusaha membebaskan bahasa dan retorika dari hambatan-hambatan filosofis. Jacques
Derrida yang melakukan pendekatan ini, di mana ia menyatakan bahwa orang tidak
dapat mengetahui ‘makna asli’ dari teks manap\ pun. Makna yang diperoleh sang
penafsir berbeda secara radikal degan makna dari penulis. Osborne menyatakan
memang sangat sulit memperoleh makna yang asli, tetapi pembaca memiliki
tanggung jawab etis untuk mempertimbangkan makna yang dimaksud suatu teks,
khususnya jika suatu teks itu pada intinya meminta kita melakukannya. Gerakan
dekrontruksi ini merupakan permainan kuasa, mengganti kuasa dari teks dengan
kuasa dari individu untuk melakukan apa yang dikehendakinya.
Posisi-Posisi
Tengah
Para
ahli modern mencoba menempa suatu titik temu atau posisi tengah tempat ketiga
elemen – penulis, teks dan pembaca – memainkan peran, yaitu:
1.
Paul
Ricoeur
Penjarakan (jarak
antara teks yang historis dan pembaca masa kini) menjadi suatu penghalang
antara pembaca dan penulis, namun di dalam teks, dunia atau cakrawala itu
menjadi satu. Oleh karena itu, penafsiran itu berpusat pada teks, bukan
berpusat pada penulis. Peran hermeneutika di sini adalah menemukan dunia yang
baru, mengalaminya dan dengan itu menggabungkan makna objektif dengan relevansi
eksistensial dengan menunjuk ke arah dunia dari teks dan dunia dari diri pada
waktu yang sama. Bagi Rcoeur, kuncinya adalah menempatkan seseorang di hadapan
teks ketimbang di belakangnya, untuk mengizinkan dunia tekstual itu
mengendalikan proses hermeneutisnya.
2.
Pendekatan-Pendekatan
Kritik Kanon
Sebagaimana yang
diktakan oleh Childs adalah harus mengakui bahwa pembentukan kanonis dari teks
Alkitab merupakan kunci hermeneutik menuju penafsiran di kemudian hari ketika
orang beralih dari masa lalu ke masa kini.
3.
Wittgenstein
dan para pengikutnya
Wittgenstein beranjak
lebih dekat menuju sentralitas dari penulis/teks untuk mencari makna. Dua tokoh
yang mengembangkan pemikiran Wittgenstein yaitu J. L Austin yang menegaskan
bahwa kata-kata yang bermakna bukan dari mereka sendiri tetapi ketika mereka
dirangkaikan dalam kalimat di dalam konteks-konteks lisan/tertulis. Dan John
Searle yang membawa Wittgenstein dan Austin menuju tingkat selanjutnya dalam
teorinya “ucapan tindakan.” Yaitu mengucapkan suatu bahasa berarti terlibat
dalam suatu bentuk perilaku yang dikuasai-aturan (yang sangat rumit).
Pengetahuan yang diperoleh dari ucapan tindakan berasal dari konvensi-konvensi
komunikasi yang dipakai bersama oleh penulis dan pembaca.
4.
Kembalinya
sang penulis: Betti, Hirsch, Juhl
Bagi Betti bahwa
aturan-aturan hermeneutika dapat mengendalikan penafsiran subjektif dan
mengarahkan kepada penafsiran objektif. Teks sebagai objek masih tetap dapat
menjadi suatu tujuan yang valid, karena baik teks maupun pembaca sama-sama
menikmati dunia yangtransendental, suprahistoris. Bagi E.D. hirsch, ia
memisahkan makna (tindakan memahami suatu teks atas dasar seluruh medan makna)
dan “signifikansi” (tindakan menyisipkan makna ke dalam konteks-konteks yang
berbeda, seperti buadaya modern). Pembaca harus menjaring semua penafsiran yang
potensial dengan memahami “implikasi-implikasi” dari tiap kemungkinan. P.D.
Juhl sependapat dengan tujuan Hirsch namun tidak setuju jika harus memisahkan
penulis dari teks yang ditulis penulis. Jhul menegaskan bahwa ada suatu
hubungan logis antara penyataan-penyataan tentang makna dari suatu karya sastra
dan pernyataan-pernyataan tentang maksud penulis. Oleh karena itu, ketika
menentukan makna yang dimaksudkan dari teks, kita menemukan makna yang dimaksud
penulis.
VI.
MASALAH
MAKNA: MENUJU SOLUSI
Tujuan bagian ini
adalah melanjutkan dialog dan memanfaatkannya untuk menyarankan suatu solusi
atas dilema penulis-teks-pembaca.
1.
Makna
dan Rujukan: Sumbangsi Filsafat Analistis
Sebagaimana pendekatan
yang dilakukan oleh Austin, Filsafat analistis bahwa dalam hermeneutika, bahasa
memiliki suatu fungsi performatif dan juga dimensi asertif. Dalam hal
pengertian ucapan tindakan yaitu: lokusioner
artinya apa yang dimaksud oleh suatu kalimat, ilokusioner artinya apa yang kalimat itu capai (penegasan, janji,
prediksi), perlokusioner artinya
berusaha menghasilkan pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan dari ucapan
tindakan-tindakan (pengajaran, imbauan). John Searle memperdalam dan memperluas
posisi Austin yaitu dasar dari suatu teori analistis harus menjadikan bahasa
sebagai rujukan ketimbang performatif. Bagi Searle, kalimat merupakan suatu
sarana yang disengaja untuk digunakan agar orang dapat membawa para pendengar
menuju arena yang tepat hingga bisa menerapkan aturan yang tepat dan mengenal
maknanya. Kuncinya adalah mengembangkan suatu model tindakan yang
komunikatif yang mengakui kedudukan
penulis maupun pembaca di dalam prose penafsiran.
2.
Sosiologi
Pengetahuan
Suatu aspek penting
dari hermeneutika adalah pengaruh dari warisan budaya dan wawasan dunia
terhadap penafsiran. Sosiologi pengetahuan mengakui pengaruh dari nilai-nilai
kemasyarakatan pada semua presepsi mengenai realitas.
3.
Struktur
Paradigma
Isu utama adalah validitas
dari teori-teori sosiologi dan filsafat ilmu terhadap ilmu-ilmu sosial. Namun
kuncinya adalah menciptakan di dalam diri seseorang suatu sikap keterbukaan
kepada kebenaran yang mengizinkan kita untuk menerima tantangan dari
komunitas-komunitas penafsir yang lain karena kita mengetahui bahwa mungkin
mereka tepat dan ini akan menghantar seseorang kembali kepada teks untuk
menemukan kebenaran.
4.
Intensionalitas
G. E. M Anscombe
membicarakan isu ini melalui pemikiran gurunya sendiri, Ludwig Wittgenstein, ia
menggunakan pendekatan fenomenologis, berpendapat bahwa maksud merupakan suatu
bentuk deskripsi yang menjawab pertanyaan, mengapa? Oleh karena itu, maksud
terkait dengan pengetahuan praktis dan berurusan dengan tindakan. Artinya bahwa
mereka menegaskan tindakan-tindakan ilokusioner memiliki maksud, jadi dalam
penafsiran suatu teks, kita sedang menguak maksud dari penulis.
5.
Teori
Probabilitas
Teori ini semakin
mengemuka dalam pembahasan-pembahasan mengenai transfer makna dan klain-klaim
kebenaran. Sebenarnya pada kesimpulan teori probabilitas adalah menujuk pada
teori pengetahuan yang didasarkan pada pengertian dan rujukan akan membuat
tujuan mendapatkan makna yang dimaksud atau yang asli dari karya menjadi
mungkin tercapai, tergantung pada pertimbangan-pertimbangan generik seperti
yang disampaikan sebelumnya.
6.
Realisme
Kristis
Realisme didefinisikan
sebagai keyakinan bahwa di dalam teks ada suatu yang real untuk ditemukan, dan
pencarian tersebut harus ditentukan melalui riset yang kritis. Proses realisme
kritis dapat dilihat sebagai serangkaian kriteria: kriteria koherensi (memberikan kecocokan yang
lebih baik ketimbang hipotesis lain), kriteria komprehensif (menempatkan
bersama semua data bukan hanya sebagian saja), kriteria kecukupan (memberikan suatu keserasian yang lebih antara dari data
luar dan dari dalam teks), kriteria konsistensi
(membentuk suatu pola yang dapat dilakukan dalam menyatukan data), kriteria
ketahanan (memiliki kekuatan bertahan
dan telah diakui oleh yang lain-lain), dan kriteria penyerbukan silang (diterima oleh lebih dari satu aliran
pemikiran).
Kebenaran
Proposisional dan Logika Narasi
Dalam hal ini pembaca
harus memperhatikan sumbangsih yang positif dari kritik redaksi, yang
memperlihatkan kaitan antara dunia narasi dan pernyataan-pernyataan theologis
yang dimaksud dari setiap penulis. Di mana penulis memproduksi teks dan
memberikan teks tersebut makna-makna yang dimaksudkan untuk dipahami oleh
pembaca. Teks itu kemudian menuntun pembaca dengan memproduksi jalan-jalan
masuk tertentu yang mengarahkan pembaca kepada permainan bahasa yang tepat
untuk menafsirkan tindakan ilokusioner yang khusus. Dengan cara tersebut,
pembaca menempatkan dirinya pada dunia tekstual dan isi proposisional, sehingga
memahami makna yang dimaksudkan oleh teks.
Pendekatan
Lapangan pada Hermeneutika
Beberapa pola
untuk menambahkan praksis kepada teori yaitu:
1. Suatu
pembacaan yang teliti atas teks tidak dapat dilakukan tana adanya suatu
perspektif yang disediakan oleh prapemahaman
seseorang seperti yang telah diidentifikasikan oleh prespektif sosiologi
pengetahuan.
2. Harus
membedakan presuposisi dan prasangka.
3. Harus
mencarikendali-kendali yang memampukan kita bekerja dengan
presuposisi-presuposisi (yang posistif)
ketimbang di dominasi oleh prasangka (yang negatif).
4. Harus
mengizinkan prinsip-prinsip hermeneutika yang baik membentuk eksegesis dan
mengendalikan kecenderungan untuk memaksakan prasangka-prasangka ke dalam suatu
teks.
VII.
KESIMPULAN
Buku “spiral
hermeneutika” yang ditulis oleh Grant R. Osborne merupakan buku yang memberikan
sumbangsi tentang cara melakukan hermeneutika yang benar dalam bidang studi
theologis dan biblikal. Di mana dalam melakukan hermenutika ditemukan adanya
spiral dari teks Alkitab kepada konteks masa kini. Heremeneutika berusaha
menjawab segala pergumulan dari segala zaman termasuk masa kini. Hal ini dapat
dilkukan dengan memahami atau berkomunikasi dengan teks Alkitab itu sendiri
untuk menemukan maknanya dan menemukan signifikansinya terhadap masa kini. Ini adalah
dasar filosofi bagi spiral dari teks menuju makna sebagai suatu kesatuan yang memperlihatkan
spiral yang menuntun pemahama yang benar terhadap theologis dan biblikal. Sehingga melalui semua ini hermeneutika terapan dapat menghidupkan theologgi dan biblika.
Komentar
Posting Komentar